Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 07 Maret 2014

FILSAFAT ILMU


                                                                      BOOK REPORT




Description: unib warna
UJIAN AKHIR SEMESTER
Disampaikan Untuk
Menempuh Mata Kuliah FILSAFAT ILMU
Pada Program Studi Magister Administrasi Pendidikan
Universitas Bengkulu
Semester I Tahun Akademik 2013/2014
 Dosen Pengampu Dr. OSA JUARSA












 







Oleh


EDY SUSILO




PROGRAM STUDI
MAGISTER ADMINISTRASI PENDIDIKAN
UNIVERSTAS BENGKULU
2013




 
KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah swt.atas berkat rahamat hidayah dan inayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas  dalam  pembuatan laporan buku (book report) sebagai pemenuhan tugas dalam mengikuti perkuliahan,pada mata kuliahFfilsafat Ilmu
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam kami menynadari bahwa dalam pembuatan tugas ini jauh dari sempurna dan tentunya masih banyak kekurangannya.Oleh sebab itu kritik dan saran yang bersifat membangun kami harapkan demi perbaikan tugas-tugas selanjutnya.




Bengkulu,Desember 2013
Penulis
EDY SUSILO





DAFTAR ISI

Kata pengantar
...........................................
I
Daftar Isi
...........................................
Ii
BAB I
 PENDAHULUAN
...........................................
1
A.Pengertian Filsafat
...........................................
1
B.Pendekatan Pendekatan Filsafat Filsafat dalam dalam   Memperoleh Ilmu
...........................................
3
BAB II 
PENGETAHUAN FILSAFAT
...........................................
16
A.Antologi Filsafat 
...........................................
16
B. Epistemologi Filsafat
...........................................
20
C.Aksiologi Pengetahuan Filsafat 
...........................................
24
BAB III
KESIMPULAN
...........................................
30

...........................................


...........................................


...........................................

Daftar Pustaka
...........................................

                                                                           










BAB I
PENDAHULUAN
A.Pengertian Filsafat
Filsafat danIlmua dalah dua katayang saling berkaitan baik secara substansia maupun historis. Kelahiransuatu lmutidakdapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaanfilsafat. Ilmu atau Sains merupakan komponen terbesar yang diajarkan dalam semua strata pendidikan. Walaupun telah bertahun-tahun mempelajari ilmu, pengetahuan ilmiah tidakdigunakan sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmu dianggap sebagai hafalan saja, bukan sebagai pengetahuan yang mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan dan kenyamanan hidup.
Kini ilmu telah tercerabut dari nilai luhur ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi, ilmu dan teknologi menjadi bencana bagi kehidupan manusia, seperti pemanasan global dan dehumanisasi. Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya yang fundamental, karena ilmu telah mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa disadari manusia telah menjadi budak. Olehkarenaitu, filsafat ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agarilmu tidak menjadi boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrument dalam mencapai kesejahteraan bukan tujuan.Filsafat ilmu diberikan sebagai pengetahuan bagi orang yang ingin mendalami hakikat ilmu dan kaitannya dengan pengetahuan lainnya. Bahan yang diberikan tidak ditujukan untuk menjadi ahli filsafat.
Dalam masyarakat religius,ilmu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan darinilai-nilai ketuhanan, karenasumberilmu yang hakiki adalah Tuhan. Manusia diberi daya fikir oleh Tuhan, dan dengan daya fikir inilah manusia menemukan teori-teori ilmiah dan teknologi. Pengaruh agama yang kaku dan dogmatis kadang kala menghambat perkembangan ilmu. Oleh karenanya diperlukan kecerdasan dan kejelian dalam memahami kebenaran ilmiah dengan system nilai dalamagama, agar keduanya tidak saling bertentangan. Dalamfilsafat ilmu, ilmu akan dijelaskan secara filosofis dan akademis sehingga ilmu dan teknologi tidak tercerabut dari nilai agama, kemanusiaan dan lingkungan. Dengan demikian filsafatilmu akan memberikan nilai dan orientasi yang  jelasbagi setiap ilmu.

Makna Filsafatdari Segi Bahasa Filsafat berasal dari bahasaYunani, philosophiaatau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan. Kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab),philosophie (Prancis, Belanda danJerman), sertaphilosophy (Inggris). Dengan demikian filsafat berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (menjadikatasifat) bias berarti teman kebijaksanaan (menjadikatabenda) atau induk dari segala ilmu pengetahuan.
Uraian tentang struktur sain tidak terlalu bagus. Hal itu disebabkan oleh begitu banyak macam sain, karena banyaknya maka banyak yang tidak saya ketahui. Epistemologi sain difokuskan pada cara kerja metode ilmiah. Sedangkan pembahasan aksiologi sain diutamakan pada cara sain menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia. A. Ontologi Sain  Di sini dibicarakan hakikat dan struktur sain. Hakikat sain menjawab pertanyaan apa sain itu sebenarnya. Struktur sain seharusnya menjelaskan cabang- cabang sain, serta isi setiap cabang itu. Namun di sini hanya dijelaskan cabang- cabang sain dan itupun tidak lengkap.
Masalah rasional dan empiris inilah yang dibahas berikut ini. Pertama, masalah rasional .  Saya berjalan-jalan di beberapa kampung. Banyak hal yang menarik perhatian saya di kampung-kampung itu, satu diantaranya ialah orang-orang di kampung yang satu sehat-sehat, sedang di kampung yang lain banyak yang sakit. Secara pukul-rata penduduk kampung yang satu lebih sehat daripada penduduk kampung yang lain tadi. Ada apa ya? Demikian pertanyaan dalam hati saya.  Kebetulan saya mengetahui bahwa penduduk kampung yang satu itu memelihara ayam dan mereka memakan telurnya, sedangkan penduduk kampung yang lain tadi juga memelihara ayam tetapi tidak memakan telurnya, mereka menjual telurnya. Berdasarkan kenyataan itu saya menduga, kampung yang satu itu penduduknya sehat-sehat karena banyak memakan telur, sedangkan penduduk kampung yang lain itu banyak yang sakit karena tidak makan telur.
Pengertian Filsafat
Makna Filsafat dari SegiBahasa Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan. Kata filsafat dalam bahasaIndonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab),philosophie (Prancis, Belanda danJerman), sertaphilosophy (Inggris).
Dengan demikian filsafat berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (menjadikatasifat) bias berarti teman kebijaksanaan (menjadikatabenda) atau induk segala ilmu pengetahuan.
Phytagoras(572 -497 SM) ditahbiskan sebagai orang pertama yang memakai kata philosopia yang berarti pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom) bukan kebijaksanaan itusendiri.
Plato (427-347 SM) mengartikannya sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang hakiki lewat dialektika
 Aristoteles(382 –322 SM) mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang kebenaran.
Al-Farabi (870 –950 ) mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan hakekat alamy ang sebenarnya.
Descartes(1590 –1650) mendefinisikan filsafats ebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentangtuhan, alam dan manusia.
Immanuel Kant (1724 –1804) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan. Menurut Kant ada empat hal yang dikaji dalam filsafat yaitu: 1.apa yang dapat manusia ketahui? (metafisika),
2.apayang seharusnyadiketahuimanusia?(etika), 
3.sampai dimana harapan manusia? ( agama) dan
4. apakah manusia itu? (antropologi)
Merriam-Webster dalam kamusnya filsafat adalah literally the love of wisdom, in the actual usage, the science that investigates the most general facts and prinsciples of reality and human nature and conduct: logic, ethics, aesthetics and the theory of knowledge.

B.Pendekatan Pendekatan Filsafat Filsafat dalam dalam   Memperoleh Ilmu
Pad azaman Plato sampai pada masa Al-Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan boleh dikatakan tidak ada. Seorang filosof (ahlifilsafat) pasti menguasai semua ilmu pengetahuan. Perkembangan daya berfikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praktis dikalahkan oleh perkembangan ilmu yang didukung oleh teknologi. Wilayah kajian filsafat menjadi lebih sempit dibandingkan dengan wilayah kajian ilmu. Sehingga ada anggapan filsafat tidak dibutuhkan lagi. Filsafat kurang membumi sedangkan ilmu lebih bermanfaat dan lebih praktis. Padahal filsafat menghendaki pengetahuan yang komprehensif yang luas, umum, dan universal dan hal ini tidak dapat diperoleh dalam ilmu.Sehingga filsafat dapat ditempatkan pada posisi dimana pemikiran manusia tidak mungkin dapat dijangkau oleh ilmu.
Ilmu bersifat pasteriori (kesimpulan ditarik setelah melakukan pengujian secara berulang), sedangkan filsafat bersifat priori(kesimpulan ditarik tanpa pengujian tetapi pemikiran dan perenungan).Keduanya sama-samamenggunakan aktivitas berfikir, walaupun cara berfikirnya berbeda. Keduanya juga sama-sama mencari kebenaran.  Kebenaran filsafat tidakdapat dibuktikan oleh filsafat sendiri tetapihanya dapat dibuktikan oleh teorikeilmu anmelalui observasi ataupun eksperimen untuk mendapatkan justifikasi. Filsafat dapat merangsang lahirnya keinginan dari temuan filosofisme lalui berbagai observasi dan eksperimenyang melahirkan ilmu-ilmu. Hasil kerja filosofis dapat menjadi pembuka bagi lahirnya suatu ilmu, oleh karena itu filsafatd isebut juga sebagai induk ilmu (mother of science). Untuk kepentingan perkembangan ilmu, lahir disiplin filsafat yang mengkaj iilmu pengetahuan yang dikenal sebagai filsafat ilmu pengetahuan.
Ciri Ciri Berfikir Berfikir Filsafat
Filsafat Berfilsafat dapat diartikan sebagai berfikir. Ciriberfikir filsafatadalah:
a.Radikal:berfikirradikalartinyaberfikirsampaikeakar permasalahannya.
  b.Sistematik, berfikiryang logis, sesuaiaturan, langkah demilangkah, berurutan, penuhkesadaran, danpenuh tanggungjawab.
c.Universal, berfikirsecaramenyeluruhtidakterbatas padabagiantertentutetapimencakupseleuruhaspek. d.Spekulatif, berfikirspekulatifterhadapkebenaran yang perlupengujianuntukmemberikanbukti kebenaranyang difikirkannya.
Cabang Cabang Filsafat Filsafat
Filsafatmengkajilima cabangutamayaitu:
1.Logika(halyang benardansalah)
2.Etika(halyang baikdanburuk)
3.Estetika(halyang indahdanjelek)
 4.Metafisika(hakekatkeberadaanzat, pikiran, dankaitannya
5.Politik(organisasipemerintahanyang ideal) Kelimacabanginiberkembanglagimenjadi cabang-cabang filsafat yang lebihs pesifik.
Pada dasarnya cara kerja sain adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain ialah tidak ada kejadian tanpa sebab.Asumsi ini oleh Fred N. Kerlinger ( Foundation of Behavior Research , 1973:378) dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter hoc (ini, tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki hubungan rasional.  Ilmu atau sain berisi teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat. Sain tidak memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan, indah atau tidak indah; sain hanya memberikan nilai benar atau salah.
Struktur Sain  Dalam garis besarnya sain dibagi dua, yaitu sain kealaman dan sain sosial. Contoh berikut ini hendak menjelaskan struktur sain dalam bentuk nama-nama ilmu. Nama ilmu banyak sekali, berikut ditulis beberapa saja diantaranya:
 1) Sain Kealaman • Astronomi ; • Fisika : mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir; • Kimia : kimia organik, kimia teknik; • Ilmu Bumi : paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi, geografi; • Ilmu Hayati : biofisika, botani, zoologi;
2) Sain Sosial • Sosiologi : sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan • Antropologi : antropologi budaya, antropologi ekonomi, entropologi politik. • Psikologi : psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal; • Ekonomi : ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan; • Politik : politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional Agar sekaligus tampak lengkap, berikut ditambahkan Humaniora.
3) Humaniora • Seni : seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari; • Hukum : hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial); Sejarah : sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial). Demikian sebagian kecil dari nama ilmu (sain). Ditambahkan juga pengetahuan Humaniora (yang mungkin dapat digolongkan dalam sain sosial) dalam daftar di atas hanyalah dengan tujuan agar tampak lengkap.(Bahan diambil dari Ensiklopedi Indonesia ).
Epistemologi Sain  Pada bagian ini diuraikan obyek pengetahuan sain, cara memperoleh pengetahuan sain dan cara mengukur benar-tidaknya pengetahuan sain.
1.      Objek Pengetahuan Sain 
Objek pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua objek yang empiris. Jujun S. Suriasumantri ( Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer , 1994: 105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di sini ialah pengalaman indera.  Objek kajian sain haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti yang harus ia temukan adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis.  Apakah objek yang boleh diteliti oleh sain itu bebas? Artinya, apakah sain boleh meneliti apa saja asal empiris? Menurut sain ia boleh meneliti apa saja, ia ebas; menurut filsafat akan tergantung pada filsafat yang mana; menurut agama belum tentu bebas.  Objek-objek yang dapat diteliti oleh sain banyak sekali: alam, tetumbuhan, hewan, dan manusia, serta kejadian-kejadian di sekitar alam, tetumbuhan, hewan dan manusia itu; semuanya dapat diteliti oleh sain. Dari penelitian itulah muncul teori-teori sain. Teori-teori itu berkelompok atau dikelompokkan dalam masing- masing cabang sain.
2.      Cara Memperoleh Pengetahuan Sain
 Pengalaman manusia sudah berkembang sejak lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik.  Perkembangan sain didorong oleh paham Muhanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).  Sejak zaman dahulu, manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia. Tujuannya ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi kebutuhan manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur itu diperlukan aturan.  Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam tidak diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.  Bagaimana membuat aturan untuk mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi, manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam.  Bagaimana membuatnya dan apa alatnya?
Bila aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati.   Pertama , mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua , mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa sumber aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama mana? Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah.
Jadi, seandainya aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang menolaknya. Padahal aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang. Begitulah kira-kira mereka berpikir.  Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama , karena akal dianggap mampu, kedua , karena akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme.  Rasionalisme ialah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.  Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila tidak, salah. Nah , dengan aal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal.  Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata temuan akal itu seringkali bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata orang lain itu logis juga. lain.
Alat itu ialah Empirisme. Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris.  Nah, dalam hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar adalah bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Nah dengan Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Tetapi nanti dulu, ternyata Empirisisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas. Kata Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar.
Empirisisme hanya menemukan konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum terukur. Jadi, masih diperlukan alat lain. Alat lain itu ialah Positivisme.  Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur” inilah sumbangan penting Positivisme. Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam.
Kata Positivisme, ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode Ilmiah. Sayangnya, Metode Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; Metode Ilmiah hanya mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode Ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut: logico-hypothetico-verificartif . Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.  Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode Ilmiah itu secara teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan Model-model Penelitian.Dengan menggunakan Model Penelitian tertentu kita mengadakan penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai bidang sain. Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sain, filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang diuraikan di atas ialah sebagai berikut: Humanisme Rasionalisme Empirisme Positivisme Metode Ilmiah Metode Riset Model-model Penelitian  Aturan untuk Mengatur Alam Aturan untuk Mengatur Manusia
Ukuran Kebenaran Pengetahuan Sain  Ilmu berisi teori-teori. Jika Anda mengambil buku Ilmu (sain) Pendidikan, maka Anda akan menemukan teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi membicarakan teori-teori tentang bumi, Ilmu Hayat membahas teori-teori tentang makhluk hidup. Demikian seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya apa ukuran kebenaran sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran teori-teori sain.  Ada teori Sain Ekonomi: bila penawaran sedikit, permintaan banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali benar dihipotesiskan: Jika hari hujan terus, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan naik. Untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar atau salah, kita cukup melakukan dua langkah. Pertama , kita uji apakah teori itu logis? Apakah logis jika hari hujan terus harga gabah akan naik?  Jika hari hujan terus, maka orang tidak dapat menjemur padi, penawaran beras akan menurun, jumlah orang yang memerlukan tetap, orang berebutan membeli beras, kesempatan itu dimanfaatkan pedagang beras untuk memperoleh untung sebesar mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan terus harga beras akan naik.
Hipotesis itu lolos ujian pertama, uji logika. Kedua , uji empiris. Adakan eksperimen. Buatlah hujan buatan selama mungkin, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, beras dari daerah lain tidak masuk. Periksa pasar. Apakah harga beras naik? Secara logika seharusnya naik. Dalam kenyataan mungkin saja tidak naik, misalnya karena orang mengganti makannya dengan selain beras. Jika eksperimen itu dikontrol dengan ketat, hipotesis tadi pasti didukung oleh kenyataan. Jika didukung oleh kenyataan (beras naik) maka hipotesis itu menjadi teori, dan teori itu benar, karena ia logis dan empiris.  Jika hipotesis terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu teori selalu benar, yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori itu naik tingkat keberadaannya menjadi hukum atau aksioma .  Agaknya banyak mahasiswa menyangka bahwa hipotesis bersifat mungkin benar mungkin salah, dengan kata lain, hipotesis itu kemungkinan benar atau salahnya sama besar, fifty-fifty . Prasangkaan itu salah.
Hipotesis (dalam sain) ialah pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi belum ada bukti empirisnya. Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti bahwa hipotesis itu salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada atau tidak ada bukti empirisnya adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa kelogisan suatu hipotesis – juga teori – lebih penting ketimbang bukti empirisnya. Harap dicatat, bahwa kesimpulan ini penting.
Aksiologi Sain  Pada bagian ini dibicarakan tiga hal saja, p e t a m a kegunaan sain; kedua , cara sain menyelesaian masalah; ketiga , netralitas sain. Sebenarnya, yang kedua itu merupakan contoh aplikasi yang pertama. r
1. Kegunaan Pengetahuan Sain  Apa guna sain? Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah karena sain (ilmu) isinya teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat; berupa argumen perasaan atau keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori dalam pengetahuan mistik; berupa argumen logis-empiris, ini teori sain.  Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain: sebagai alat membuat eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.
1) Teori Sebagai Alat Ekspalanasi  Berbagai sain yang ada sampai sekarang ini secara umum berfungsi sebagai alat untuk membuat eksplanasi kenyataan. Menurut T. Jacob ( Manusia, Ilmu dan Teknologi , 1993: 7-8) sain merupakan suatu sistem eksplanasi yang paling dapat diandalkan
2) Teori Sebagai Alat Peramal  Tatkala membuat eksplanasi, biasanya ilmuwan telah mengetahui juga faktor penyebab terjadinya gejala itu. Dengan “mengutak-atik” faktor penyebab itu, ilmuwan dapat membuat ramalan. Dalam bahasa kaum ilmuwan ramalan itu disebut prediksi, untuk membedakannya dari ramalan dukun.  Dalam contoh kurs dolar tadi, dengan mudah orang ahli meramal. Misalnya, karena bulan-bulan mendatang hutang luar negeri jatuh tempo semakin banyak, maka diprediksikan kurs rupiah terhadap dolar akan semakin lemah. Ramalah lain dapat pula dibuat, misalnya, harga barang dan jasa pada bulan-bulan mendatang akan naik. Pada contoh dua tadi dapat pula dibuat ramalan.
3) Teori Sebagai Alat Pengontrol  Eksplanasi merupakan bahan untuk membuat ramalan dan kontrol. Ilmuwan, selain mampu membuat ramalan berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol. Perbedaan prediksi dan kontrol ialah prediksi bersifat pasif; tatkala ada kondisi tertentu, maka kita dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi ini, itu, begini atau begitu. Sedangkan kontrol bersifat aktif; terhadap sesuatu keadaan, kita membuat tindakan atau tindakan-tindakan agar terjadi ini, itu, begini atau begitu.
2. Cara Sain Menyelesaian Masalah
Ilmu atau sain – yang isinya teori – dibuat untuk memudahkan kehidupan. Bila kita menghadapi kesulitan (biasanya disebut masalah), kita menghadapi dan menyelesaikan masalah itu dengan menggunakan ilmu (sebenarnya menggunakan teori ilmu).  Dahulu orang mengambil air di bawah bukit, orang Sunda menyebutnya di lebak . Tatkala akan mengambil air, orang melalui jalan menurun sambil membawa wadah air. Tatkala pulang ia melalui jalan menanjak sambil membawa wadah yang berisi air. Itu menyulitkan kehidupan. Untuk memudahkan, orang membuat sumur. Air tidak lagi harus diambil di lebak . Air dapat diambil dari sumur yang dapat dibuat dekat rumah.  Membuat sumur memerlukan ilmu. mencari teori tentang sebab-sebab kenakalan remaja. Biasanya ia cari dalam literatur. Ia menemukan ada beberapa teori yang menjelaskan sebab- sebab kenakalan remaja. Diantara teori itu ia pilih teori yang diperkirakannya paling tepat untuk menyelesaikan masalah kenakalan remaja di kampung itu. Sekarang ia tahu penyebab kenakalan remaja di kampung itu.  Ketiga , ia kembali membaca literatur lagi. Sekarang ia mencari teori yang menjelaskan cara memperbaiki remaja nakal. Dalam buku ia baca, bahwa memperbaiki remaja nakal harus disesuaikan dengan penyebabnya. Ia sudah tahu penyebabnya, maka ia usulkan tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh pemimpin, guru, organisasi pemuda, ustadz, orang tua remaja dan polisi serta penegak hukum.  Demikian biasanya cara ilmuwan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Itu adalah cerita tentang cara sain menyelesaikan masalah. Cara filsafat dan mistik tentu lain lagi. Langkah baku sain dalam menyelesaikan masalah: identifikasi masalah, mencari teori, menetapkan tindakan penyelesaian.  Janganlah hendaknya terlalu mengandalkan sain tatkala timbul masalah. Ada dua sebab. Pertama , belum tentu teori sain yang ada mampu menyelesaikan masalah yang dihadapi. Teori itu mungkin memadai pada zaman tertentu, digunakan untuk menghadapi masalah yang sama pada zaman yang lain, belum tentu teori itu efektif. Kedua , belum tentu setiap masalah tersedia teori untuk menyelesaikannya. Masalah selalu berkembang lebih cepat daripada perkembangan teori. Ilmu kita ternyata tidak pernah mencukupi untuk menyelesaikan masalah demi masalah yang diharapkan kepada kita.  Apabila sain gagal menyelesaikan suatu masalah yang diajukan kepadanya, maka sebaiknya masalah itu dihadapkan ke filsafat, mungkin filsafat
3. Bonus Netralitas Sain  Pada tahun 1970-an terjadi polemik antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta) dengan Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan bahwa sain itu netral, sementara Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata Mukti Ali hanya memancing, ia tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu.  Dalam ujaran Mukti Ali, waktu itu, sain itu netral, seperti pisau, digunakan untuk apa saja itu terserah penggunannya. Pisau itu dapat digunakan untuk membunuh (salah satu perbuatan jahat) dan dapat juga digunakan untuk perbuatan lain yang baik. Begitulah teori-teori sain, ia dapat digunakan untuk kebaikan dan dapat pula untuk kejahatan. Kira-kira begitulah pengertian sain netral itu.  Netral biasanya diartikan tidak memihak. Dalam kata “sain netral” pengertian itu juga terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan tidak juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering diganti dengan istilah sain bebas nilai. Nah , bebas nilai ( value free ) itulah yang disebut sain netral; sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai ( value bound .Apa untungnya bila sain netral? Bila sain itu kita anggap netral, atau kita mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah perkembangan sain akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau menghalangi tatkala peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak diteliti, (2) cara meneliti, dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian. Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi oleh nilai dalam (1) memilih objek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3) menggunakan hasil penelitian. 
Orang yang beraliran sain netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara bebas, sedang orang yang bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu hanya untuk kebaikan saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada epistemologi, maupun aksiologi sain. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian. Dalam contoh di atas objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang penggunaan hasil penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang ditemukan itu. Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini kebenarannya oleh peneliti.  Apa kerugiannya bila kita ambil paham sain netral? Bila kita paham sain netral? Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain tidak netral akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk melihat proses reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum. Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain netral tidak akan keberatan mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum nikah untuk mengadakan hubungan kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan ovum. Peneliti yang menganut sain tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah menikah. Ini pada aspek epistemologi.  Yang paling merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu telah menerapkan pahamnya pada aspek aksiologi.
Paham sain tidak netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai pula dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi, sebenarnya tidak ada jalan bagi penganut sain netral.  Berikut dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman Soewardi, guru besar Filsafat Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung. Kutipan ini dapat digunakan untuk menambah bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain sebaiknya netral atau tidak netral.  Menurut Herman Soewardi (Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ke-36 8 April 2004), dari sudut pandang epistemologi, sain terbagi dua, yaitu Sain Formal dan Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal itu berada di pikiran kita yang berupa kontemplasi dengan menggunakan simbol- simbol, merupakan implikasi-implikasi logis yang tidak berkesudahan. Sain Formal itu netral karena ia berada di dalam kepala kita dan ia diatur oleh hukum- hukum logika.
Sain Emperikal disebut Kuhn Sain Normal ( Norm al Science ). Sain Normal muncul dari paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam perkembangannya Sain Normal mengahadapi fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori sain yang ada, ini disebut anom ali . Selanjutnya an om ali ini menimbulkan krisis (ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga akan timbul paradigma baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma yang satu ke paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu tidak netral.  Masalah utama Sain Normal ialah masalah penginderaan. Padahal kita tahu bahwa metode andalan – bahkan metode satu-satunya bagi Sain Normal ialah observasi (dalam arti luas), sementara observasi itu sangat mengandalkan penginderaan. Tetapi pada penginderaan inilah kelemahan utama Sain Normal.  Menurut cara berpikir Empirisisme penginderaan adalah modal fundamental bagi manusia untuk mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan Kuhn, yang orang ketahui itu tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan akan berubah setelah terjadi an om ali . Kini pertanyaannya ialah: Mengapa pengideraan itu ada cacatnya sehingga pendapat para pakar itu sering tidak sama dan sering berubah? Ini dijawab oleh Richard Tarnas. Tarnas mengatakan bahwa di depan mata manusia itu ada “lensa” yang memfilter penglihatan “lensa” itu dipengaruhi oleh nilai, pengalaman, keterbatasan, trauma dan harapan. Maka, kata Tarnas, sama dengan Kant, yang ada di benak manusia itu bukanlah jagad raya yang sebenarnya melainkan sesuatu jagad raya ciptaan manusia itu. Karena itu kausalitas yang dibangun oleh akal manusia itu menjadi kausalitas yang terlalu sederhana. Bila manusia mengubah jagad raya (jagad raya buatannya), memang manusia akan memperoleh apa yang diharapkannya, akan tetapi seringkali disertai oleh akibat-akibat yang tidak diharapkannya. Kejadian ini (muncul akibat yang tidak diharapkan) disebut antitetikal dan akibat-akibat yang berupa antitetikal inilah yang menimbulkan kerusakan-kerusakan di planet kita seperti bolongnya lapisan ozon.  Kekurangan dalam penginderaan manusia itu, menurut Herman Soewardi, dapat disempurnakan oleh firman Tuhan. Menurut Herman Soewardi, bila Sain Normal itu netral ia akan menimbulkan 3R (resah, renggut, rusak). Kayaknya sekarang kita telah menyaksikan kebenaran thesis Herman Soewardi itu. Karena itu thesis tersebut perlu mendapat perhatian.
Pada tahun 1993, buku Tarnas yang berjudul The Passion of the Western Mind , terbit. Dalam buku itu ada sebuah bab yang berjudul T h e C r i s i s o M o d e r n Science .  Menurut Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang menarik perhatian tentang sain modern. Pertama , postulatat dasar sain modern ialah space, matter, causality, dan observation , ternyata semuanya dinyatakan tidak benar. Kedua , dianutnya pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagad raya, bukanlah jagad raya yang sebenarnya, tetapi jagad raya sebagaimana diciptakan oleh pikiran manusia. Ketiga , determinisme Newton kehilangan dasar, orang pindah ke stochastic. Keempat, partikel-partikel sub-atomatik terbuka untuk interpretsi spiritual. Kelima , adanya uncertainty sebagaimana ditemukan oleh Heisenberg. Keenam , kerusakan ekologi dan atmosfir yang menyeluruh yang disebut Tarnas planetary ecological crisis .  Dari enam hal yang menarik di atas Tarnas menyimpulkan bahwa orang merasa tahu tentang jagad raya, padahal tidak: tidak ada jaminan orang dapat tahu; yang dikatakan jagad raya sebenarnya menunjukkan hubungan orang dengan jagad raya itu, atau jagad raya sebagaimana diciptakan oleh orang itu.
Tentu saja kesimpulan Tarnas itu sangat menggetarkan. Mengapa sampai demikian? Tarnas menjawab sendiri: Landasan ilmiah untuk menggambarkan jagad raya dalam sain modern adalah sangat terbatas bahkan landasan itu cukup berbahaya.  Maka kita bertanya, bagaimana kelanjutan sain modern itu bila postulat- postulat dasarnya dibuktikan tidak benar, dan terutama bila landasan ilmiahnya terbatas bahkan berbahaya? Tetapi baiklah kita lihat lebih rinci mengenai kesalahan-kesalahan sain modern itu. 
Pertama , tentang space atau jagad raya. Pandangan sekarang yang berlaku ialah bahwa space itu terbatas ( finite ), tetapi lepas bentuknya lengkung (tidak linier) sehingga garis edar benda-benda angkasa berbentuk elips, bukan karena tertarik gravitasi ke arah matahari melainkan memang bentuknya lengkung. Kini, berlaku pandangan empat dimensi space-time , bukan hanya tiga seperti pada geometri Eucled. 
Kedua , tentang matter atau materi. Baik Democritus maupun Newton, memandang materi itu solid . Pandangan sekarang menyatakan materi itu kosong. Mekanika kuantum membuktikannya. 
Ketiga , tentang kausalitas. Sain modern menganggap kausalitas itu sederhana. Kini ditemukan bahwa partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa dapat dipahami bagaimana hubungan kausalitas di antara mereka; kausalitas itu kompleks. 
Keempat , tentang u n c e t a i n t y dari Heisenberg. Ternyata observasi tdh elektron hanya dapat dilakukan terhadap salah satu posisi atau kecepatannya, selain itu observer tidak dapat mengobservasinya tanpa merusaknya. Heisenberg menemukan bahwa gerakan atom tidak dapat keduanya ditetapkan sekaligus, posisi atau kecepatannya.
Kelima , tentang partikel sub-atomatik. Capra mendapati bahwa ada semacam kecerdasan elektron, sehingga kini fisika terbuka untuk menerima interpretasi spiritual.  Keenam , kerusakan ekologi menyeluruh. Ini adalah tanda-tanda konkret adanya dampak buruk sain, ia merupakan kebalikan dari yang diharapkan dari sain. Dampak itu antara lain berupa kontaminasi air, udara, tanah, efek buruk berganda pada kehidupan tetumbuhan dan hewan, kepunahan berbagai species, kerusakan hutan, erosi tanah, pengurasan air tanah, akumulasi ilmiah yang toksik, efek rumah kaca, bolongnya ozon, salah satu ujungnya ialah ekonomi dunia semakin runyam.
Karena isi ilmu adalah teori, maka mengembangkan ilmu adalah teorinya. Ada beberapa kemungkinan dalam mengembangkan teori. Pertama , menyusun teori baru. Dalam hal ini memang belum pernah dari teori yang muncul, lantas seseorang menemukan teori baru. Kedua , menemukan teori baru untuk mengganti teori lama. Dalam kasus ini, tadinya sudah ada teorinya tetapi karena teori ini sudah tidak mampu menyelesaikan masalah yang mestinya ia mampu menyelesaikannya, maka teori itu diganti dengan teori baru. Ketiga , merevisi teori lama. Dalam hal peneliti atau pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak juga menggantinya dengan teori baru, ia hanya merevisi, ia hanya menyempurnakan teori lama itu. Keempat , membatalkan teori lama. Ia hanya membatalkan, tidak menggantinya dengan teori baru. Ini aneh: ia mengurangi jumlah teori yang sudah ada, ia membatalkan teori dan tidak menggantinya dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia mengembangkan ilmu.  Bagaimana prosedur serta langkah-langkah pengembangan ilmu akan amat ditentukan oleh jenis ilmunya. Itu memerlukan organisasi, ada managernya. Itu memerlukan biaya tinggi kadang-kadang memerlukan tenaga yang sedikit atau banyak; memerlukan waktu, ada yang sebentar dari yang lama, bahkan ada yang sangat lama.










BAB II
PENGETAHUAN FILSAFAT

Pada bab ini dibicarakan ontologi, epistemologi dan aksiologi filsafat. Ontologi membicarakan hakikat, objek dan struktur filsafat. Epistemologi membahas cara memperoleh dan ukuran kebenaran pengetahuan filsafat. Aksiologi mendiskusikan masalah kegunaan filsafat dan cara filsafat menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dibicarakan juga pada bab ini masalah netralitas filsafat yang akan membahas apakah filsafat itu sebaiknya netral ( value free ) atau terikar ( value bound ).
A.Antologi Filsafat 
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan filsafat itu sebenarnya. Struktur filsafat dibahas juga di sini. Yang dimaksud struktur di sini ialah cabang-cabang filsafat serta isi (yaitu teori) dalam setiap cabang itu. Yang dibicarakan di sini hanyalah cabang-cabang saja, itupun hanya sebagian. Teori dalam setiap cabang tentu sangat banyak dan itu tidak dibicarakan di sini. Struktur dalam arti cabang-cabang filsafat sering juga disebut sistematika filsafat.
1. Hakikat Pengetahuan Filsafat  Hatta mengatakan bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu; nanti bila orang telah banyak mempelajari filsafat orang itu akan mengerti dengan sendirinya apa filsafat itu (Hatta, Alam Pikiran Yunani , 1966,I:3) Langeveld juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat itu, makin dalam ia berfilsafat akan semakin mengerti ia apa filsafat itu (Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat , 1961:9).  Pendapat Hatta dan Langeveld itu benar, tetapi apa salahnya mencoba menjelaskan pengertian filsafat dalam bentuk suatu uraian. Dari uraian ini diharapkan pembaca mengetahui apa filsafat itu, sekalipun belum lengkap. Dan dari situ akan dapat ditangkap apa itu pengetahuan filsafat.  Poedjawijatna ( Pembimbing ke Alam Filsafat , 1974:11) mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Hasbullah Bakry ( Sistematik Filsafat , 1971:11) mengatakan bahwa filsafat sejenis pengetahuan yang menyelidiki segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya setelah mencapai pengetahuan itu.  Definisi Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry menjelaskan satu hal yang penting yaitu bahwa filsafat itu pengetahuan yang diperoleh dari berpikir. Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 1, memang ciri khas filsafat malah ia diperoleh dengan berpikir dan hasilnya berupa pemikiran (yang logis tetapi tidak empiris).  Apa yang diingatkan oleh Hatta dan Langeveld memang ada benarnya. Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan mengatakan filsafat ialah hasil pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan itu memang belum lengkap. Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the attempt to answer ultimate question critically (Joe Park, Selected Reading in the Philosophy of Education , 1960:3). D.C. Mulder ( P e m b i m b i n g k e D a l m I l m u F il s a a t , 1966:10) mendefinisikan filsafat sebagai pemikiran teoritis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan. William James ( Encyclopedia of Philosophy , 1967:219) menyimpulkan bahwa filsafat ialah a collective name for que stion which have not been answered to the satisficati on of all that have asked them . Namun, dengan mengatakan bahwa filsafat ialah hasil pemikiran yang hanya logis, kita telah menyebutkan inti sari filsafat. Pada Bab 1 telah saya jelaskan (cobalah lihat kembali matrik itu) bahwa pengetahuan manusia ada tiga macam yaitu pengetahuan sain, pengetahuan filsafat dan pengetahuan mistik; pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis dan tidak empiris.
2. Struktur Filsafat  Hasil berpikir tentang yang ada dan mungkin ada itu tadi telah terkumpul banyak sekali, dalam buku tebal maupun tipis. Setelah disusun secara sistematis, itulah yang disebut sistematika filsafat. Yang inilah yang saya maksud dengan struktur filsafat. Filsafat terdiri atas tiga cabang besar yaitu : antologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ketiga cabang itu sebenarnya merupakan satu kesatuan: • antologi, membicarakan hakikat (segala sesuatu) ini berupa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu; • epistmologi aksiologi, membicarakan guna pengetahuan itu. Antologi mencakupi banyak sekali filsafat, mungkin semua filsafat masuk di sini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi, Teologi, Antropologi, Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan lain-lain. Epistemologi hanya mencakup satu bidang saja yang disebut Epistemologi yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan filsafat. Ini berlaku bagi setiap cabang filsafat. Sedangkan aksiologi hanya mencakup satu cabang filsafat yaitu Aksiologi yang membicarakan guna pengetahuan filsafat. Inipun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka struktur filsafat.  Salah satu filsafat yang masih “baru” ialah Filsafat Perennial. Karena baru, filsafat itu diuraikan ala kadarnya berikut ini.
Filsafat Perennial1 Istilah perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang kemudian diadopsi ke dalam bahasa Inggris perennial yang berarti kekal (Kommaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni Nafis, A g a m a M a s a D e p a n : P e r s p e k ti f F il s a f t Perennial , 1995:1). Dengan demikian, Filsafat Perennial ( Philosophia Perennis ) adalah filsafat yang dipandang dapat menjelaskan segala kejadian yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalani hidup yang benar, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi besar spiritualitas manusia
Diadopsi dari makalah Adeng Muchtar Ghazali, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998 Berkaitan dengan itu, Aldous Huxley yang dalam pertengahan abad 19 mempopulerkan istilah perennial melalui bukunya The Perennial Philosophy mengemukakan bahwa hakikat Filsafat Perennial, ada tiga yaitu m e t a f i i k a , psikologi dan etika ( The Perennial Philosophy , 1945:vii). s Metafisika untuk mengetahui adanya hakikat realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia ini baik yang material, biologis maupun intelektual. Psikologi adalah jalan untuk mengetahui adanya sesuatu dalam diri manusia (yaitu soul ) yang identik dengan Realitas Ilahi. Dan etika adalah yang meletakkan tujuan kahir kehidupan manusia.
Dengan demikian, maka Filsafat Perennial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semester ini dengan Realitas Ilahi itu. Realitas pengetahuan tersebut hanya dapat dicapai melalui apa yang disebut Plotinus intelek atau soul atau spirit yang jalannya pun hanya melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang diyakini oleh kalangan perennialis sebagai berasal dari Tuhan (lihat Komaruddin Hidayat, 1995:xxix).  Pengenalan metafisika lebih dahulu sebelum pengetahuan lainnya mungkin disebabkan karena perkembangan filsafat pada awalnya adalah metafisika, sehingga untuk memahami isi alam harus dipahami lebih dahulu wujud Tuhan. Mengenai psikologi sebagai hal kedua yang harus dikenali adanya karena kenyataan bahwa Tuhan sebagai tujuank merupakan sesuatu yang tidak terbatas yang hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur “dalam” manusia.  Atas dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa pembicaraan tentang cara mengetahui (epistemologi) objek Filsafat Perennial sama artinya dengan pembicaraan tentang proses batin manusia “menangkap” Realitas Absolut itu. 
Bagi orang yang telah terbiasa dengan Rasionalisme atau Empirisme pembedaan ini agak sulit dilakukan. Bukankah manusia sudah real lalu ada realitas lain yang lebih real yang tampak?  Mengenai hal ini Houston Smith mengemukakan alegori Plato sebagai analognya. Mengenai alegori Plato bacalah uraian Plato mengenai manusia guna ( cave man ) lihat misalnya dalam Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, (1990:49-50). Dalam legenda Plato itu orang yang punya bayangan orang itu adalah sesuatu yang real, tetapi orang yang punya bayangan adalah lebih real dibandingkan dengan bayangannya.  Di dalam alegori itu hendak digambarkan juga (oleh Plato) bahwa manusia yang tidak dilengkapi dengan “cahaya” akan terus berkutat pada bentuk tertentu dan tidak akan tiba pada dimensi yang lebih tinggi. Hanya dengan “cahaya” itulah manusia akan mampu melihat adanya dimensi lain yang lebih real daripada ia lihat sekarang.  Inti alegori itu adalah untuk menggambarkan kemungkinan adanya sesuatu kehidupan yang lebih tinggi yang sekarang sulit dipahami karena manusia tidak mampu ikut serta dalam penampakannya. Manusia dikelilingi oleh benda-benda, benda-benda itu membatasi manusia untuk meningkat ke kualitas lebih tinggi. Manusia mampu meningkat ke tingkat lebih tinggi itu dengan kemampuan “cahaya”. Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hirarki realitas.  Realitas tanpa batas hanya dapat diungkapkan melalui citra-citra. Melalui pencitraan itu realitas tanpa batas dapat diukur dalam enam hal yakni energi, durasi, ruang lingkup, kesatuan, nilai penting, dan kebaikan
William James mengatakan bahwa dikatakan real jika sesuatu menyebabkan kita berkewajiban untuk berurusan dengannya (William James, Some Problems of Philosophy , 1971:101).  Suatu wujud dikatakan tak terhingga jika ia memasuki enam kategori di atas. Misalnya jika energi atau power tak terhingga, ia Maha Kuasa, jika durasi tak terhingga, artinya durasinya tak terputus, maka ia Abadi; jika ruang lingkupnya tak terbatas, ia Ada dimana-mana; jika kesatuannya tanpa syarat, ia Murni (tidak memuat apapun); jika nilai pentingnya diutamakan, ia menjadi Mutlak; jika kebaikannya ditonjolkan, ia Mahasempurna. Kesemuanya itu adalah Tuhan.  Pembicaraan mengenai objek utama Filsafat Perennial tentu akan sulit bila tidak dihubungkan dengan alam sebagai citraan Tuhan. Tuhan dan alam sesuai dengan hirarkinya masing-masing harus dibicarakan. Pembicaraan ini berakibat pada penciptaan eksistensi yang hirarkis dari atas ke bawah, yang lebih atas berarti lebih real yaitu Godhead atau Yang Tak Terhingga, yaitu Tuhan menyatakan adanya level lebih real bukan berarti level di bawahnya tidak real melainkan kurang real dibandingkan dengan eksistensi level di atasnya.  Psikologi . Manusia adalah makhluk yang mencerminkan alam raya, demikian juga sebaliknya. Manusia suatu saat dapat menjadi makrokosmos pada saat yang lain menjadi mikrokosmos. Kedua kemungkinan itu akan berpengaruh pada penilaian mana yang lebih baik dalam hirarki kemanusiaan. Yang terbaik dalam diri manusia adalah yang paling “dalam”, ia adalah basis dan dasar bagi wujud manusia. Pada basis yang paling dalam inilah kaum sufi menemukan suatu lokus percakapan antara mansuia dengan Tuhan (lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX , 1983:58).  Untuk memahami lebih ja
Filsafat Perennial yang mencoba mencari keabadian, memilih Aku-Subyek yang tak terhingga yang menenggelamkan diri pada pusat diri yang paling dalam, menutup segala permukaan inderawi, persepsi maupun pemikiran, dibungkus dalam kantung jiwa yang bersifat Ilahi, sehingga masuk pada suatu pencapaian yang bukan jiwa, bukan personal, melainkan Segala-Diri ( all-self ) yang melampaui segala kedirian. Filsafat Perennial menggariskan bahwa di dalam manusia “menginkarnasi” Tuhan yang tak terhingga, jika manusia mampu membuang penutup-penutup akal indrawi, membuang kerangkeng materi dan terbang melampaui ruang dan waktu. Kondisi semacam itulah mungkin yang diungkapkan oleh Gabriel Marcel “Semakin dalam aku menjangkau diriku, semakin tampak ia melampaui diriku” (lihat Mathias Haryadi, Membina Hubungan antar Pribadi Berdasarkan Prinsi p Partisipasi, Persekutuan dan Cinta Menurut Gabriel Marcel , 1996:49-57). 
Manusia mampu menangkap limpahan Aku-Subyek yang tak terbatas di saat sedang tenggelam dalam tugas yang tidak memberikan sedikitpun perhatian pada kepentingan pribadi. Dalam bahasa I-Me tidak ada lagi me yang tersisa. Maqam itu dapat dicapai melalui empat level. Pertama , sebuah kehidupan yang secara primer diidentikkan dengan kesenangan dan kebutuhan fisik (memberi atau menerima, hidup sekedar menghabiskan umur) akan bersifat atau bernilai pinggiran; kedua seseorang yang dapat mengembangkan perhatian pada akal, ini dapat menjadi diri yang menarik; ketiga , jika manusia dapat beralih pada hati, ia akan menjadi orang baik; keempat , jika ia dapat melewatinya dan sampai ke roh, yang menjaga dari lupa diri dan mempertahankan egalitarianisme yakni kepentingan pribadi sama dengan kepentingan orang lain, ia akan menjadi orang sempurna (Houston Smith, 1979:18).  Filsafat Perennial bukan berarti tidak menghargai akal. Namun dalam menghargai akal itu yang dihargai ialah orang yang menggunakannya bukan pada kemampuan akal itu.  Etika. Suasana batin tertentu pada tataran psikologis ternyata sanggup menembus sampai kesejatiannya.
Etika adalah kumpulan untuk mengefektifkan usaha transformasi diri yang akan memungkinkan untuk mengalami dunia dengan cara baru. Melakukan perubahan, reformasi dan pengaturan akan membawa ke arah kondisi diri yang baru, mencakup bagaimana prinsip-prinsip untuk mengetahui dunia secara lebih sejati dari sekedar penampakannya apa adanya.  Isi etika adalah bentuk-bentuk kerendahatian, kedermawanan, ketulusan. Kerendahhatian merupakan kapasitas untuk membuat jarak diri dengan kepentingan pribadinya, menjauhkan ego sehingga ia dapat melihatnya secara objektif dan akurat. Tiga kebaikan utama ini masing-masing berkaitan dengan tatanan manusia. Ketulusan adalah kemampuan untuk mengetahui benda-benda secara aktual dan objektif. Kedermawanan adalah melihat orang lain seperti pada dirinya sendiri, sedangkan kerendahhatian adalah melihat diri sendiri seperti orang lain.
Filsafat Post Modern ( Post Modern Philosophy )  Di dalam literature filsafat, biasanya babakan sejarah filsafat dibagi tiga. Pertama , Filsafat Yunani Kuno ( Ancient Philosophy ) yang didominasi Rasionalisme, kedua Filsafat Abad Tengah ( Middle Ages Philosophy ), disebut juga The Dark Ages Philosophy ( Filsafat Abad Kegelapan ), yang didominasi oleh pemikiran tokoh Kristen, ketiga Filsafat Modern ( Modern Philosophy ) yang didominasi lagi oleh Rasionalisme.  Akhir-akhir ini agaknya telah muncul babakan keempat , yaitu Filsafat Pascamodern ( Post Modern Philosophy ).  Jika periode pertama didominasi rasio, periode kedua didominasi pemikiran tokoh Kristen, periode ketiga didominasi rasio lagi, maka pada periode keempat itu apa yang mendominasi?  Pada intinya, filsafat Pascamodern (anak-anak sering menyebutnya Posmo) mengkritik Filsafat Modern. Orang-orang Posmo mengatakan Filsafat Modern itu harus didekonstruksi. Karena Filsafat Modern itu didominasi Rasionalisme, maka yang didekonstruksi itu adalah Rasionalisme itu.  Rasionalisme ialah paham filsafat yang mengatakan akal itulah alat pencari dan pengukur kebenaran. Nah, paham itulah yang didekonstruksi oleh Filsafat Posmo.
B. Epistemologi Filsafat
Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat.
1. Objek Filsafat  Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang terdalam. Jika hasil pemikiran itu disusun, maka susunan itulah yang kita sebut sistematika Filsafat. Sistematika atau Struktur Filsafat dalam garis besar terdiri atas antologi, epistemologi dan aksiologi.  Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh objek apa yang diteliti (dipikirkan)nya. Jika ia memikirkan pendidikan maka jadilah Filsafat Pendidikan. Jika yang dipikirkannya hukum maka hasilnya tentulah Filsafat Hukum, dan seterusnya. Seberapa luas yang mungkin dapat dipikirkan? Luas sekali. Yaitu semua yang ada dan mungkin ada. Inilah objek filsafat. Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia Filsafat Ilmu, jika memikirkan etika jadilah Filsafat Etika, dan seterusnya.
 Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti objek yang ada dan mungkin ada. Sebenarnya masih ada objek lain yang disebut objek forma yang menjelaskan sifat kemendalaman penelitian filsafat. Ini dibicarakan pada epistemologi filsafat.  Perlu juga ditegaskan (lagi) bahwa saink meneliti objek-objek yang ada dan empiris; yang ada tetapi abstrak (tidak empiris) tidak dapat diteliti oleh sain. Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin ada, sudah jelas abstrak itu pun jika ada.  
2. Cara Memperoleh Pengetahuan Filsafat  Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggung jawabkan) cara mereka memperoleh pengetahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat kepada para filosof antara lain ialah karena ketelitian mereka, sebelum mencari pengetahuan mereka membicarakan lebih dahulu (dan mempertanggungjawabkan) cara memperoleh pengetahuan tersebut. Sifat itu sering kurang dipedulikan oleh kebanyakan orang. Pada umumnya orang mementingkan apa yang diperoleh atau diketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya. Ini gegabah, para filosof bukan orang yang gegabah.  Berfilsafat ialah berpikir. Berpikir itu tentu menggunakan akal. Menjadi persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat , II, 1973:111) mempersoalkan hal ini. Ia melihat, pada zamannya akal telah digunakan secara terlalu bebas, telah digunakan sampai di luar batas kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada masa itu.  Sejak 650 SM sampai berakhirnya filsafat Yunani, akal mendominasi. Selama 1500 tahun sesudahnya, yaitu selama Abad Tengah Kristen, akal harus tunduk pada keyakinan Kristen; akal di bawah, agama (Kristen) mendominasi. Sejak Descartes, tokoh pertama filsafat Modern, akal kembali mendominasi filsafat.  Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sum nya berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat. Sejak ini filsafat didominasi oleh akal. Akal menang lagi. Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman. Francis Bacon amat yakin pada kekuatan Sain dan Logika. Sain dan Logika dianggap mampu menyelesaikan semua masalah (Will Durant, The Story of Philosophy , 1959:254). Condoret mendukung Bacon : Sain dan Logika itulah yang penting. Kemudian pemikiran ini diikuti pula oleh pemikir Jerman Christian Wolff dan Lessing. Bahkan pemikir-pemikir Prancis mendramatisasi keadaan ini sehingga akal telah dituhankan (lihat Durant, 1959:254). Spinoza meningkatkan kemampuan akal tatkala ia menyimpulkan bahwa alam semester ini laksana suatu sistem matematika dan dapat dijelaskan secara a priori dengan cara mendeduksi aksioma- aksioma. Filsafat ini jelas memberikan dukungan kepada kepongahan manusia dalam menggunakan akalnya. Karena itu tidaklah perlu kaget tatkala Hobbes meningkatkan kemampuan akal ini menjadi Atheisme dan Materalisme yang nonkompromis.  Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan ima telah tunduk di bawah kaidah-kaidah akliah. Helvetius dan Holbach menawarkan idea yang “edan” itu di Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti mesin, menjajakan pemikiran ini di Jerman. Tatkala pada tahun 1784 Lessing mengumumkan bahwa ia menjadi pengikut Spinoza, itu telah cukup sebagai pertanda bahwa iman telah jatuh sampai ke titik hadirnya dan akal telah berjaya (Lihat Durant, 1959:255).  David Hume (1711-1776) tidak begitu senang pada keadaan ini. Ia menyatakan bila akal telah menentang manusia, maka akan datang waktunya manusia menantang akal. Apa akal itu sebenarnya?  Locke (1632-1704) telah meneliti akal. Ia berhasil tampil dengan argumennya tentang kerasionalan agama Krsiten. Pengetahuan kita datang dari pengalaman, begitu katanya. Teorinya tabula rasa menjelaskan pandangannya itu. Ia berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui hanya materi, karena itu materialisme harus diterima. Bila penginderaan adalah asal usul pemikiran, maka kesimpulannya haruslah materi adalah material jiwa.  Tidak demikian kita Uskup George Berkeley (1684-1753) analisis Locke itu justru membuktikan materi itu sebenarnya tidak ada. David Hume seorang Uskup Irlandia berpendapat lain. Katanya, kita mengetahui apa jiwa itu, sama dengan kita mengenal materi, yaitu dengan persepsi, jadi secara internal. Kesimpulannya ialah bahwa jiwa itu bukan substansi, suatu organ yang memiliki idea-idea; jiwa sekedar suatu nama yang abstrak untuk menyebut rangkaian idea. Hasilnya, Hume sudah menghancurkan mind sebagaimana Barkeley menghancurkan materi.  Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan dirinya berada di tengah-tengah reruntuhan hasil karyanya sendiri. Jangan kaget bila Anda mendengar kata-kata begini: No matter never mind . Semua ini gara-gara akal. Akal telah digunakan melebihi kapasitasnya.  Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal itu. Di lain pihak, memang Locke berpendapat bahwa kita belum waktunya membicarakan masalah hakikat sebelum kita mengetahui dengan jelas apa akal itu sebenarnya.  Tetapi baiklah, kita terima saja bahwa akal itu ada dan ia bekerja berdasarkan suatu cara yang tidak begitu kita kenal. Aturan kerjanya disebut Logika. Sejauh akal itu bekerja menurut aturan Logika, agaknya kita dapat menerima kebenarannya.  Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat?
Dengan berpikir secara mendalam, tentang sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek pemikirannya sesuatu yang konkret, tetapi yang hendak diketahuinya ialah bagian “di belakang” objek konkret itu. Dus abstrak juga.  Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak sesuatu itu, ia ingin mengetahui sedalam-dalamnya. Kapan pengetahuannya itu dikatakan mendalam? Dikatakan mendalam tatkala ia sudah berhenti sampai tanda tanya. Dia tidak dapat maju lagi, disitulah orang berhenti, dan ia telah mengetahui sesuatu itu secara mendalam. Jadi jelas, mendalam bagi seseorang belum tentu mendalam bagi orang lain.  Seperti telah disebut di muka, Sain mengetahui sebatas fakta empiris. Ini tidak mendalam. Filsafat ingin mengetahui di belakang sesuatu yang empiris itu. Inilah yang disebut mendalam. Tetapi itupun mempunyai rentangan. Sebagaimana hal abstrak di belakang fakta empiris itu dapat diketahui oleh seseorang, akan banyak tergantung pada kemampuan berpikir seseorang. Saya misalnya mengetahui bahwa gula rasanya manis (ini pengetahuan empiric.
.
Orang lain masih dapat melangkah ke langkah ketiga, misalnya ia mengetahui bahwa Yang Maha Pintar itu adalah Tuhan, ia masih dapat maju lagi misalnya mengetahui di belakang fakta empiris itu dapat bertingkat-tingkat, dan itu menjelaskan kemendalaman pengetahuan filsafat seseorang. Untuk mudahnya mungkin dapat dikatakan begini: berpikir mendalam inilah berpikir tanpa bukti empirik.  Pada uraian di atas kita mengetahui akal itu diperdebatkan oleh ahli akal dan orang-orang yang secara intensif menggunakan akalnya. Kerja akal, yaitu berpikir mendalam, menghasilkan filsafat. Apakah dengan demikian berarti teori- teori filsafat itu tidak ada gunanya atau nilai kebenarannya amat rendah? Tidak juga. Ya, itulah filsafat, kadang-kadang filsafat diragukan oleh filsafat itu sendiri.  Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empirik, apa yang kita gunakan? Ya, akal itu. Apapun kelemahan akal, bahkan sekalipun akal amat diragukan hakikata keberadaannya, toh akal telah menghasilkan apa yang disebut filsafat. Kelihatannya, ada satu hal yang penting di sini: janganlah hidup ini digantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini ditentukan seluruhnya oleh filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum diketahui secara jelas identitasnya.
Ukuran Kebenaran Pengetahuan Filsafat  Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah.  Ada hal yang patut Anda ingat. Anda tidak boleh menuntut bukti empiris untuk membuktikan kebenaran filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis dan hanya logis. Bila logis dan empiris, itu adalah pengetahuan sain.  Kebenaran teori filsafat ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran logis tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori) itu. Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi data pada pengetahuan sain. Argumen itu menjadi kesatuan dengan konklusi, konklusi itulah yang disebut teori filsafat. Bobot teori filsafat justru terletak pada kekuatan argumen, bahkan pada kehebatan konklusi. Karena argumen itu menjadi kesatuan dengan konklusi, maka boleh juga diterima pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu argumen. Kebenaran konklusi ditentukan 100% oleh argumennya.
C.Aksiologi Pengetahuan Filsafat 
Di sini diuraikan dua hal, pertama kegunaan pengetahuan filsafat dan kedua cara filsafat menyelesaikan masalah. 1. Kegunaan Pengetahuan Filsafat  Apa guna pengetahuan filsafat? Atau apa kegunaan filsafat? Tidak setiap orang perlu mengetahui filsafat. Tetapi orang yang merasa perlu berpartisipasi dalam membangun dunia perlu mengetahui filsafat. Mengapa? Karena dunia dibangun oleh dua kekuatan: agama dan filsafat. 
Untuk mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat sebagai tiga hal, p e t m a filsafat sebagai kumpulan teori filsafat, kedua filsafat sebagai metode pemecahan masalah, ketiga filsafat sebagai pandangan hidup ( philosophy of life ). r a Mengetahui teori-teori filsafat amat perlu karena dunia dibentuk oleh teori- teori itu. Jika Anda tidak senang pada Komunisme maka Anda harus mengetahui Marxisme, karena teori filsafat untuk Komunisme itu ada dalam Marcisme. Jika Anda menyenangi ajarah Syi’ah Dua Belas di Iran, maka Anda hendaknya mengetahui filsafat Mulla Shadra. Begitulah kira-kira. Dan jika Anda hendak membentuk dunia, baik dunia besar maupun dunia kecil (diri sendiri), maka Anda tidak dapat mengelak hati dari penggunaan teori filsafat. Jadi, mengetahui teori- teori filsafat amatlah perlu. Filsafat sebagai teori filsafat juga perlu dipelajari oleh orang yang akan menjadi pengajar dalam bidang filsafat.  Yang amat penting juga ialah filsafat sebagai methodology , yaitu cara memecahkan masalah yang dihadapi. Di sini filsafat digunakan sebagai satu cara atau model pemecahan masalah secara mendalam dan universal. Filsafat selalu mencari sebab terakhir dan dari sudut pandang seluas-luasnya. Hal ini diuraikan pada bagian lain sesudah ini.
Filsafat sebagai pandangan hidup tentu perlu juga diketahui. Mengapa misalnya salah seorang Presiden Amerika (Bill Clinton, 1998), telah mengaku berzina, dan masyarakatnya tetap banyak yang memberikan dukungan? Mungkinkah hal seperti itu untuk Indonesia? Presiden Indonesia yang mengaku berzina pasti akan dicopot oleh masyarakat Indonesia. Mengapa berbeda? Karena masyarakat Indonesia berbeda pandangan hidupnya dengan masyarakat Amerika.  Filsafat sebagai philosophy of life sama dengan agama, dalam hal sama mempengaruhi sikap dan tindakan penganutnya. Bila agama dari Tuhan atau dari langit, maka filsafat (sebagai pandangan hidup) berasal dari pemikiran manusia.  Berikut uraian yang membahas kegunaan filsafat dalam menentukan philosophy of life . Banyak orang memiliki pandangan hidup, banyak orang yang menganggap philosophy of life itu sangat penting dalam menjalani kehidupan.
Pertama , argumen gerak. Alam ini selalu bergerak. Gerak itu mungkin berasal dari alam itu sendiri, gerak itu menunjukkan adanya Penggerak. Tuhan adalah Penggerak Pertama.  Kedua , arguman kausalitas. Tidak ada sesuatu yang mempunyai penyebab pada dirinya sendiri, sebab itu harus di luar dirinya. Dalam kenyataannya ada rangkaian penyebab. Penyebab pertama adalah Tuhan yang tidak memerlukan penyebab yang lain.  Ketiga , argumen kemungkinan. Adanya alam ini bersifat mungkin: mungkin ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan diperoleh dari kenyataan alam ini dimulai dari tidak ada, lalu muncul atau ada kemudian berkembang, akhirnya rusak dan hilang atau tidak ada. Kenyataan ini menyimpulkan bahwa alam ini tidak mungkin selalu ada. Dalam diri alam itu ada dua kemungkinan atau ada dua potensi, yaitu ada dan tidak ada, tetapi dua kemungkinan itu tidak akan muncul bersamaan pada waktu yang sama. Mula-mula alam ini tidak ada, lalu ada. Diperlukan Yang Ada untuk mengubah alam dari tiada menjadi ada, sebab tidak mungkin muncul sesuatu dari tiada ke ada secara otomatis. Jadi, Ada Pertama itu harus ada. Akan tetapi Ada Pertama yang harus ada itu dari mana? Kembali lagi kita menghadapi rangkaian penyebab ( tasalsul ). Kita harus berhenti pada Ada Pertama yaitu yang Harus Ada.  Keempat , argumen tingkatan. Isi alam ini ternyata bertingkat-tingkat ( levels ). Ada yang dihormati, lebih dihormati, terhormat. Ada indah, lebih indah, sangat indah, dan seterusnya
Tuhan tidak dapat dibuktikan adanya dengan akal teoritis (maksudnya rasio). Inilah thesis utama Kant dalam hal ini (lihat lebih jauh Ahmad Tafsir, Filsafat Umum , 1997:162).  Agaknya kita dapat menyimpulkan bahwa filsafat (dalam hal ini akal logis) dapat berguna untuk memperkuat keimanan, ini menurut sebagian filosof, seperti Thomas Aquinas; tetapi menurut filosof lain, seperti Kant, bukti-bukti akliah (dalam arti rasio) tentang adanya Tuhan sebenarnya lemah, bukti yang kuat adalah suara hati. Suara hati itu memerintah, bahkan rasio pun tidak mampu melawannya.  Berikut adalah uraian lain yang mengupas kegunaan filsafat bagi pengembangan hukum islami.
Butir-butir aturan dan ketentuan hukum yang ada dalam fikih pada garis besarnya mencakup tiga unsur pokok. Pertama , perintah seperti sholat, zakat, puasa dan sebagainya. Kedua , larangan seperti larangan musyrik, zina dan sebagainya. Ketiga , petunjuk seperti cara sholat, cara puasa, dan sebagainya.  Keseluruhan unsur pokok di atas bila dilihat dari sudut sifatnya, ia dapat dibagi dua. Pertama , bersifat tetap, tidak berpengaruh oleh kondisi tertentu, seperti sebagai aqidah dan seluruh ibadah mahdhah ; dalam hal ini ijtihad tidak berlaku padanya. Kedua , yang bersifat dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu, inilah bidang Dalam memberikan kritik ideologi, yakni menggunakan fungsi kritis filsafat. Pemikiran cara filsafat amat diperlukan dalam menganalisis ideologi secara kritis, mempertanyakan dasarnya, memperlihatkan implikasinya dan membuka kedok yang mungkin berada di belakangnya. Dalam hal ini filsafat itu dapat melakukan dua hal. Pertama , kritik terhadap ideologi saingan yang akan merusak Islam atau masyarakat Islam, kedua kritik terhadap hukum islami, misalnya mempertanyakan apakah hukum itu seperti itu, apakah itu sesuai dengan esensi yang dikandung oleh teks yang dijadikan dasar hukum tersebut.  Kesimpulannya, memang benar, filsafat, khususnya filsafat sebagai metodologi, berguna bagi pengembangan hukum dalam hal ini hukum islami.  Bagi perkembangan bahasa pun filsafat ada gunanya.
Kegunaan Filsafat bagi Bahasa Disepakati oleh para ahli bahwa bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran. Terlihat adanya hubungan yang erat antara bahasa dan pikiran. Di antara problem yang dihadapi bahasa ialah dalam pemeliharaannya.
Bahasa sering tidak mampu membebaskan diri dari gangguan pemakainya. Orang awam sering merusak bahasa, mereka menggunakan bahasa tanpa mengikuti kaidah yang benar. Kerusakan bahasa tersebut biasanya disebabkan oleh tidak digunakannya kaidah logika. Logika itu filsafat.  Filosof adalah “ protoype ” orang bijaksana. Orang bijaksana tertentu harus menggunakan bahasa yang benar. Bahasa yang benar itu akan mampu mewakili konsep logis yang dibawakannya. Karena itu pada logikalah kita menemukan kaitan erat antara bahasa dan filsafat. Dan pada logika pula kita temukan manfaat konkret bahasa. Peran logika dalam bahasa ialah memperbaiki bahasa, logika dapat mengetahui kesalahan bahasa.
 Kekeliruan dalam berbahasa melahirkan kekeliruan dalam berpikir. Berikut beberapa contohnya (lihat Mundiri, Logika, 1994:194). Pertama , kekeliruan karena komposisi. Misalnya kekeliruan dalam menetapkan sifat pada bagian untuk menyifati keseluruhan, seperti “Setiap kapal perang suatu negara telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut telah siap tempur” atau “Mur ini sangat ringan karena itu mesin ini sangat ringan pula, Kedua , kekeliruan dalam pembagian atau devisi, yaitu kekeliruan karena menetapkan sifat keseluruhan maka keliru pula dalam menetapkan sifat bagian. Misalnya, “Kompleks perumahan ini dibangun pada daerah yang sangat luas tentulah kamar-kamar tidurnya luas juga”, Ketiga , kekeliruan karena tekanan. Ini terjadi dalam pembicaraan tatkala salah dalam memberikan tekanan dalam pengucapan. Misalnya, “Karena kekenyangan ia tertidur”, bila tekanan pada kekenyangan (“karena kekenyangan ia tertidur”) maka arti kalimat itu akan berbeda dari kalimat yang pertama: yang pertama biasa yang kedua mengejek. Keempat , kekeliruan karena amfiboli . Amfiboli terjadi bila kalimat itu mempunyai arti ganda. Contohnya seperti “Mahasiswa yang duduk di kursi paling depan
Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah  Kegunaan filsafat yang lain ialah sebagai methodology , maksudnya sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode dalam memandang dunia ( world show ).  Dalam hidup kita, kita menghadapi banyak masalah. Masalah artinya kesulitan. Kehidupan akan dijalani lebih enak bila masalah itu terselesaikan. Ada banyak cara dalam menyelesaikan masalah, mulai dari yang amat sederhana sampai yang rumit. Filosof lain belum juga puas, karena menurutnya Hedonisme itu belum penyebab paling awal, Hedonisme itu sebenarnya turunan Pragmatisme. Pragmatisme itu bersama dengan Liberalisme lahir dari Rasionalisme.
Karena itu filosof ini mengatakan yang paling strategis ialah memerangi Rasionalisme itu. Apakah rasionalisme itu penyebab pertama munculnya kebebasan seks? Untuk sementara, agaknya ya. Maka untuk memberantas kebebasan seks kita harus menjelaskan bahwa Rasionalisme itu adalah pemikiran yang salah.  Penyelesaian ini mendalam, karena telah menemukan penyebab yang paling asal. Penyelesaian itu juga universal, karena yang akan diperbaiki pada akhirnya kelak bukan hanya persoalan kebebasan seks, hal-hal lain yang merupakan turunan Rasionalisme juga akan dengan sendirinya hilang.
Netralitas Filsafat Tatkala menjelaskan netralitas sain kita berkesimpulan seharusnya sain itu tidak netral artinya sain itu seharusnya tidak bebas nilai. Filsafat bagaimana?  Ada berbagai hal yang menarik untuk diperhatikan mengenai pertanyaan itu.
Pertama , dalam filsafat ada Filsafat Nilai atau Etika. Filsafat Etika adalah cabang filsafat yang khusus membicarakan nilai, yaitu nilai baik buruk. Karena etika membicarakan nilai maka pastilah etika itu tidak bebas nilai. Adalah mungkin nilai yang digunakan dalam etika itu bukan nilai dari agama, tetapi tetap saja ia tidak netral karena ia telah membicarakan buruk dan baik. 
Kedua , filsafat itu adalah pemikiran orang, karena pemikiran orang maka tidaklah mungkin orang itu netral dalam berpikir; sekurang-kurangnya hasil pemikiran itu telah berpihak pada pemikir itu. Berbeda dengan sain. Peneliti sain tidak berpikir, teori sain disusun berdasarkan data yang terkumpul bukan disusun berdasarkan pemikiran peneliti.
 Ketiga , masih ada kemungkinan netralnya filsafat, yaitu pada logika. Mungkin saja logika itu netral. Untuk memastikan ini kita dapat menganggap logika itu esensinya sama dengan esensi matematika. Nah , jika matematika dapat dianggap netral, maka logika juga dapat netral.  Seandainya Logika kita anggap netral, itu bukan berarti filsafat itu netral, sebab masih menjadi persoalan apakah logika itu filsafat atau bukan filsafat. Jika Anda termasuk yang berpandangan bahwa logika itu adalah bagian dari filsafat, maka Anda harus berpendapat bahwa sebagian dari filsafat adalah netral.


BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
Makna Filsafat dari SegiBahasa Filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia atau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan. Kata filsafat dalam bahasaIndonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab),philosophie (Prancis, Belanda danJerman), sertaphilosophy (Inggris). Dengan demikian filsafat berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (menjadikatasifat) bias berarti teman kebijaksanaan (menjadikatabenda) atau induk segala ilmu pengetahuan.
Phytagoras(572 -497 SM) ditahbiskan sebagai orang pertama yang memakai kata philosopia yang berarti pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom) bukan kebijaksanaan itusendiri.
Plato (427-347 SM) mengartikannya sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang hakiki lewat dialektika
 Aristoteles(382 –322 SM) mendefinisikan filsafat sebagai pengetahuan tentang kebenaran.
Al-Farabi (870 –950 ) mengartikanfil safat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan hakekat alamy ang sebenarnya.
Descartes(1590 –1650) mendefinisikanfilsafatsebagai kumpulanilmupengetahuantentangtuhan, alam dan manusia.
Immanuel Kant (1724 –1804) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan pangkal dari segala pengetahuan. Menurut Kant ada empat hal yang dikaji dalam filsafat yaitu: 1.apa yang dapat manusia ketahui? (metafisika),
2.apayang seharusnyadiketahuimanusia?(etika), 
3.sampai dimana harapan manusia? ( agama) dan
4. apakah manusia itu? (antropologi)
Merriam-Webster dalam kamusnya filsafat adalah literally the love of wisdom, in the actual usage, the science that investigates the most general facts and prinsciples of reality and human nature and conduct: logic, ethics, aesthetics and the theory of knowledge.

Kajian dalam filsafat ada tiga.Masalah netralitas filsafat yang akan membahas apakah filsafat itu sebaiknya netral ( value free ) atau terikar ( value bound ).
A.Antologi Filsafat 
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan filsafat itu sebenarnya.
B. Epistemologi Filsafat
Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat. . 
C.Aksiologi Pengetahuan Filsafat 
Kegunaan Pengetahuan Filsafat  Apa guna pengetahuan filsafat? Atau apa kegunaan filsafat?
Pertama , dalam filsafat ada Filsafat Nilai atau Etika. Filsafat Etika adalah cabang filsafat yang khusus membicarakan nilai, yaitu nilai baik buruk. Karena etika membicarakan nilai maka pastilah etika itu tidak bebas nilai. Adalah mungkin nilai yang digunakan dalam etika itu bukan nilai dari agama, tetapi tetap saja ia tidak netral karena ia telah membicarakan buruk dan baik. 
Kedua , filsafat itu adalah pemikiran orang, karena pemikiran orang maka tidaklah mungkin orang itu netral dalam berpikir; sekurang-kurangnya hasil pemikiran itu telah berpihak pada pemikir itu. Berbeda dengan sain. Peneliti sain tidak berpikir, teori sain disusun berdasarkan data yang terkumpul bukan disusun berdasarkan pemikiran peneliti.
 Ketiga , masih ada kemungkinan netralnya filsafat, yaitu pada logika. Mungkin saja logika itu netral. Untuk memastikan ini kita dapat menganggap logika itu esensinya sama dengan esensi matematika. Nah , jika matematika dapat dianggap netral, maka logika juga dapat netral.  Seandainya Logika kita anggap netral, itu bukan berarti filsafat itu netral, sebab masih menjadi persoalan apakah logika itu filsafat atau bukan filsafat. Jika Anda termasuk yang berpandangan bahwa logika itu adalah bagian dari filsafat, maka Anda harus berpendapat bahwa sebagian dari filsafat adalah netral.































DAFTAR PUSTAKA
Abdullah M.E., Konci Rijki , Jakarta: Hasanah, 1985.
Badrudi Subkhi, Bid'ah-bid'ah di Indonesia . Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Clifford Geertz, Abangan Sntri dan Priyai , Pustaka Jawa, 1983.
C. Mulder, Pembimbing ke dalam Ilmu Filsafat , Jakarta: Badan Penerbit Kristen, 1966.
Davis L. Silis, International Encyclopedia o f t h e S o c i a l S i e n c e s . New York: MacMillan Company, 1972. c
Elias, Modern Dictionary English Arabic , 1968.
Ensiklopedi Islam .
Fred N. Kerlinger, Foundation of Behavior Research , New York: Holt, Rinehart and Winston, 1973.
Frithjof Schoun, The Trancendent Unity of Religion , New York : Harper and Row, 1975.
Hamka, Tasauf Perkembangan dan Kemurnian , Jakarta: Nurul Islam, 1980.
Hatta, Alam Pikiran Yunani , Jakarta: Tinta Mas, 1966.
Ilmu Hudluri: Prnsip-prnsi p Epistemologi dalam Islam , Bandung: Mizan, 1999.
Herman Soewardi, T i b a S a a t n y a I l a m K e m b a li Kaffah Kuat dan Berijtihad (Suatu Kognisi Baru tentang Islam), Bandung: Diterbitkan sendiri oleh Pengarangnya, 1999. s
Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat , Jakarta: Widjaja, 1971.
Houston Smith, Beyond Post-Modern , 1979. (?)
Ibn Khaldun, Muqaddimah , Dar al-Fikr, 1981.
Ibrahim Samirra’i, Fiqh al-Lughah al Muqarran , Beyrut: Dar al-Tsaqafah  al-Islamiyyah, tt.
Ibn Miskawaih, Tahdzib al-Aklaq, terjemahan, Mizan, Bandung, 1994.
Ibnu Mandzur Jamaluddin al-Anshari, Lisan al-‘Arab Kairo: Dar al-Mishiriyyah li al-Taklif wa al-Tarjamah, tt.
Jauhar Salim Abbay (penerjemah), Al-Thibb Awasin al Kaey , Jakarta: Yayasan Ibnu Ruman, tt.
Joe Park, Selected Reading in The Philosophy of Education , New York: The MacMillan Company, 1960.
Jujus S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Sinar Harapan, 1994.
J. Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya , I, Jakarta: Gramedia, 1987.
James Drever, Kamus Antropologi , Penerjemah Nancy Simanjuntak, Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Kamus Umum Bahasa Sunda , Panitia Kamus LBSS, Bandung: Tarate, 1992.
K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX , Jakarta: Gramedia, 1983.
Kerlinger,
Foundation of Behavior Research , New York: Holt, Rinehart and Winston, 1973.
Karl Jasper, Philosophical Faith and Revelation , London: Colin, 1967.
Komaruddin Hidayat dan Muhammad Wahyuni, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial , Jakarta: Paramadina, 1995.
Langeved, Menuju ke Pemikiran Filsafat , Djakarta: PT. Pembangunan, 1961.
Lembaga Seni Bela Diri Hikmatul Iman, Buku Pegangan Anggota , Bandung: LSBDHI, 1993.
Louis Ma’luf, al Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam , Beirut: Dar al-Marsyriq, 1975.
Mohammad Hatta, Alam Pikiran Junani , Djakarta: Tintamas, I, 1966.
Mathias Haryadi, Membina Hubungan Antar Pribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi, Persektuan dan Cinta Menurut Gabriel Marcel , Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Mundiri, Logika , PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994.
Murtadla Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual , Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995.
Muhammad Isa Daud, H i w a r a l - S y a w a f y m a ’ a J i n n i y a l - M u li m , Terjemahan Afif Muhammad dan H. Abdul Adhiem, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. s
Muhammad bin Abdul Wahab, al-Tauhid alladzi huwa Haqqullah ‘ala al-‘Abid , Libanon: Dar al-‘Arabiyyah, 1969.
Mahmud Syaltut, Islam Aqidah wa Syari’ah , Mesir: Dar al-Qalam, 1996.
Maria Susuei Dhavamony, Fenomenologi Agama , Jakarta: Kanisius, 1997.
Poedjawijatna, Pembimbing ke Alam Filsafat , Djakarta: PT. Pembangunan, 1974.
Reymond Firth, Human Types , Terjemahan, Bandung: Sumur Bandung, 1960.
Samudi Abdullah, Takhayyul dan Magic dalam Pandangan Islam , Bandung:  Al-Ma’arif, 1997.
Sihristany, a l M il a l w a a l N i h a l , Dar al-Fikr, tt.
Sachiko Murata, The Tao of Islam , Bandung: Mizan, 1996.
Syihabuddin Yahya al-Syuhrawadi, Hikayat-hikayat Mistis , Bandung: Mizan, 1992.
Syaikh Wahid Abdul Salam Bali, a l - S h a r i m a l - B a tt a r f i T a s h a d d i li S a h a r a t  al-Asrar , Terjemahan, Jakarta: Rabbani Press, 1995.
Suroso Orakas, White Magic , Pekalongan: Bahagia, 1989.
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat , Djakarta: Bulan Bintang, II, 1973.
Suyono Ariyono, Kamus Antropologi , Jakarta: Akademika Press, 1985.
T. Jacob, Manusia, Ilmu dan Teknologi , Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.
Umar Hasyim, Setan sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Takhayyul, Pedukunan dan Azimat , Surabaya: Bina Ilmu, tt.
Webster’s New Twentith Century Dictionary of English Language , 1980.
Wahid Abdul Salam, Wiqayat al-Insan min al-Jinny wa al-Syaithan , Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1998.
Will Durant, The Story of Philosophy , New York: Simon and Schuster, Inc., 1959.
William James, Encyclopedia of Philosophy , 1967, (?)
Wililam James, Some Problems of Philosophy , New York: Longman, 1971.
Wadji Muhammad al-Syahawi, Memanggil Roh dan Menaklukkan Jin , Bandung: Remaja Rosdakarya, 1997.







TENTANG PENULIS
 AHMAD TAFSIR, lahir di Bengkulu tahun 1942. Pendidikannya diawali di Sekolah Rakyat (sekarang SD) di Bengkulu, melanjutkan sekolah di PGA (Pendidikan Guru Agama) 6 tahun di Yogyakarta. Selanjutnya belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta, dan menyelesaikan Jurusan Pendidikan Umum tahun 1969. Tahun 1975-1976 (selama 9 bulan) mengambil Kursus Filsafat di IAIN Yogyakarta. Tahun 1982 mengambil Program S-2 di IAIN Jakarta. Tahun 1987 sudah menyelesaikan S-3 di IAIN Jakarta juga.  Sejak tahun 1970, Tafsir mengajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung, sampai sekarang. Tahun 1993, Guru Besar Ilmu Pendidikan ini mempelopori berdirinya Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI). Sejak Januari 1997 diangkat menjadi Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Bandung.  Karya tulisnya tersebar pada berbagai media. Umumnya menulis tentang pendidikan dan filsafat. Akhir-akhir ini kerap juga menulis tentang tasawuf. Buku terakhir ini, Filsafat Ilmu: Menuju Pengetahuan Mistik ialah salah satu kajian beliau tentang mistik. Buku lain yang sudah dipublikasikan di antaranya: Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales sampai Capra , Rosdakarya, Bandung cetak ulang kesembilan Februari, 2001; Metodologi Pendidikan Agama Islam , Rosdakarya Bandung, sudah cetakan keenam; Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam , Rosdakarya, Bandung, cetakan kelima (2002).

Tidak ada komentar :