BOOK REPORT

UJIAN
AKHIR SEMESTER
Disampaikan Untuk
Menempuh Mata Kuliah FILSAFAT ILMU
Pada Program Studi Magister Administrasi Pendidikan
Universitas Bengkulu
Semester I Tahun Akademik
2013/2014
Dosen Pengampu Dr. OSA JUARSA
![]() |
|||||
![]() |
![]() |
||||
Oleh
EDY
SUSILO
PROGRAM
STUDI
MAGISTER
ADMINISTRASI PENDIDIKAN
UNIVERSTAS
BENGKULU
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami
panjatkan ke hadirat Allah swt.atas berkat rahamat hidayah dan inayah-Nya kami
dapat menyelesaikan tugas dalam pembuatan laporan buku (book report) sebagai
pemenuhan tugas dalam mengikuti perkuliahan,pada mata kuliahFfilsafat Ilmu
Kami menyadari sepenuhnya
bahwa dalam kami menynadari bahwa dalam pembuatan tugas ini jauh dari sempurna
dan tentunya masih banyak kekurangannya.Oleh sebab itu kritik dan saran yang
bersifat membangun kami harapkan demi perbaikan tugas-tugas selanjutnya.
Bengkulu,Desember 2013
Penulis
EDY SUSILO
DAFTAR ISI
Kata pengantar
|
...........................................
|
I
|
Daftar Isi
|
...........................................
|
Ii
|
BAB I
PENDAHULUAN
|
...........................................
|
1
|
A.Pengertian Filsafat
|
...........................................
|
1
|
B.Pendekatan Pendekatan
Filsafat Filsafat dalam dalam
Memperoleh Ilmu
|
...........................................
|
3
|
BAB II
PENGETAHUAN FILSAFAT
|
...........................................
|
16
|
A.Antologi Filsafat
|
...........................................
|
16
|
B. Epistemologi Filsafat
|
...........................................
|
20
|
C.Aksiologi Pengetahuan Filsafat
|
...........................................
|
24
|
BAB III
KESIMPULAN
|
...........................................
|
30
|
|
...........................................
|
|
|
...........................................
|
|
|
...........................................
|
|
Daftar Pustaka
|
...........................................
|
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.Pengertian Filsafat
Filsafat danIlmua dalah
dua katayang saling berkaitan baik secara substansia maupun historis.
Kelahiransuatu lmutidakdapat dipisahkan dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan
ilmu memperkuat keberadaanfilsafat. Ilmu atau Sains merupakan komponen terbesar
yang diajarkan dalam semua strata pendidikan. Walaupun telah bertahun-tahun
mempelajari ilmu, pengetahuan ilmiah tidakdigunakan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari. Ilmu dianggap sebagai hafalan saja, bukan sebagai pengetahuan
yang mendeskripsikan, menjelaskan, memprediksikan gejala alam untuk kesejahteraan
dan kenyamanan hidup.
Kini ilmu telah tercerabut dari nilai luhur
ilmu, yaitu untuk menyejahterakan umat manusia. Bahkan tidak mustahil terjadi,
ilmu dan teknologi menjadi bencana bagi kehidupan manusia, seperti pemanasan global
dan dehumanisasi. Ilmu dan teknologi telah kehilangan rohnya yang fundamental,
karena ilmu telah mengurangi bahkan menghilangkan peran manusia, dan bahkan tanpa
disadari manusia telah menjadi budak. Olehkarenaitu,
filsafat ilmu mencoba mengembalikan roh dan nilai luhur dari ilmu, agarilmu tidak
menjadi boomerang bagi kehidupan manusia. Filsafat ilmu akan mempertegas bahwa ilmu
dan teknologi adalah instrument dalam mencapai kesejahteraan bukan tujuan.Filsafat
ilmu diberikan sebagai pengetahuan bagi orang yang ingin mendalami hakikat ilmu
dan kaitannya dengan pengetahuan lainnya. Bahan yang diberikan tidak ditujukan untuk
menjadi ahli filsafat.
Dalam masyarakat religius,ilmu dipandang sebagai bagian yang tidak terpisahkan
darinilai-nilai ketuhanan, karenasumberilmu yang hakiki adalah Tuhan. Manusia diberi daya fikir oleh Tuhan,
dan dengan daya fikir inilah manusia menemukan teori-teori ilmiah dan
teknologi. Pengaruh agama yang kaku dan dogmatis kadang kala menghambat
perkembangan ilmu. Oleh karenanya diperlukan kecerdasan dan kejelian dalam memahami
kebenaran ilmiah dengan system nilai dalamagama, agar keduanya tidak saling
bertentangan. Dalamfilsafat ilmu, ilmu akan dijelaskan secara filosofis dan
akademis sehingga ilmu dan teknologi tidak tercerabut dari nilai agama,
kemanusiaan dan lingkungan. Dengan demikian filsafatilmu akan memberikan nilai dan
orientasi yang jelasbagi setiap ilmu.
Makna Filsafatdari Segi Bahasa Filsafat berasal dari bahasaYunani,
philosophiaatau philosophos. Philos atau philein berarti teman atau cinta, dan shopia
atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan. Kata filsafat dalam bahasa Indonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab),philosophie (Prancis, Belanda danJerman),
sertaphilosophy (Inggris).
Dengan demikian filsafat berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (menjadikatasifat) bias berarti teman kebijaksanaan (menjadikatabenda) atau induk dari segala ilmu pengetahuan.
Uraian tentang
struktur sain tidak terlalu bagus. Hal itu disebabkan oleh begitu banyak macam
sain, karena banyaknya maka banyak yang tidak saya ketahui. Epistemologi sain
difokuskan pada cara kerja metode ilmiah. Sedangkan pembahasan aksiologi sain
diutamakan pada cara sain menyelesaikan masalah yang dihadapi manusia. A.
Ontologi Sain Di sini dibicarakan
hakikat dan struktur sain. Hakikat sain menjawab pertanyaan apa sain itu
sebenarnya. Struktur sain seharusnya menjelaskan cabang- cabang sain, serta isi
setiap cabang itu. Namun di sini hanya dijelaskan cabang- cabang sain dan
itupun tidak lengkap.
Masalah rasional dan
empiris inilah yang dibahas berikut ini. Pertama, masalah rasional . Saya berjalan-jalan di beberapa kampung.
Banyak hal yang menarik perhatian saya di kampung-kampung itu, satu diantaranya
ialah orang-orang di kampung yang satu sehat-sehat, sedang di kampung yang lain
banyak yang sakit. Secara pukul-rata penduduk kampung yang satu lebih sehat
daripada penduduk kampung yang lain tadi. Ada apa ya? Demikian pertanyaan dalam
hati saya. Kebetulan saya mengetahui
bahwa penduduk kampung yang satu itu memelihara ayam dan mereka memakan
telurnya, sedangkan penduduk kampung yang lain tadi juga memelihara ayam tetapi
tidak memakan telurnya, mereka menjual telurnya. Berdasarkan kenyataan itu saya
menduga, kampung yang satu itu penduduknya sehat-sehat karena banyak memakan
telur, sedangkan penduduk kampung yang lain itu banyak yang sakit karena tidak
makan telur.
Pengertian Filsafat
Makna Filsafat dari SegiBahasa
Filsafat berasal dari bahasa Yunani,
philosophia atau
philosophos. Philos atau philein berarti teman atau
cinta, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan.
Kata filsafat dalam bahasaIndonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab),philosophie (Prancis, Belanda danJerman), sertaphilosophy (Inggris).
Dengan demikian filsafat berarti mencintai hal-hal yang bersifat bijaksana (menjadikatasifat)
bias berarti teman
kebijaksanaan (menjadikatabenda)
atau induk segala ilmu pengetahuan.
Phytagoras(572 -497 SM)
ditahbiskan sebagai orang pertama yang memakai kata philosopia yang berarti
pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom) bukan kebijaksanaan itusendiri.
Plato (427-347 SM)
mengartikannya sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang
hakiki lewat dialektika
Aristoteles(382 –322 SM) mendefinisikan
filsafat sebagai pengetahuan tentang kebenaran.
Al-Farabi (870 –950 )
mengartikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan hakekat
alamy ang sebenarnya.
Descartes(1590 –1650)
mendefinisikan filsafats ebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentangtuhan, alam dan
manusia.
Immanuel Kant (1724
–1804) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan
pangkal dari segala pengetahuan. Menurut Kant ada empat hal yang dikaji dalam
filsafat yaitu: 1.apa yang dapat manusia ketahui? (metafisika),
2.apayang
seharusnyadiketahuimanusia?(etika),
3.sampai dimana harapan
manusia? ( agama) dan
4. apakah manusia itu?
(antropologi)
Merriam-Webster dalam kamusnya
filsafat adalah literally the love of wisdom, in the actual usage, the science
that investigates the most general facts and prinsciples of reality and human
nature and conduct: logic, ethics, aesthetics and the theory of knowledge.
B.Pendekatan Pendekatan Filsafat
Filsafat dalam dalam Memperoleh Ilmu
Pad azaman Plato sampai pada masa Al-Kindi, batas antara filsafat dan ilmu pengetahuan
boleh dikatakan tidak ada. Seorang filosof (ahlifilsafat) pasti menguasai semua
ilmu pengetahuan. Perkembangan daya berfikir manusia yang mengembangkan filsafat
pada tingkat praktis dikalahkan oleh perkembangan ilmu yang didukung oleh
teknologi. Wilayah kajian filsafat menjadi lebih sempit dibandingkan dengan wilayah
kajian ilmu. Sehingga ada anggapan filsafat tidak dibutuhkan lagi. Filsafat kurang
membumi sedangkan ilmu lebih bermanfaat dan lebih praktis. Padahal filsafat menghendaki
pengetahuan yang komprehensif yang luas, umum, dan universal dan hal ini tidak dapat
diperoleh dalam ilmu.Sehingga filsafat dapat ditempatkan pada posisi dimana pemikiran
manusia tidak mungkin dapat dijangkau oleh ilmu.
Ilmu bersifat pasteriori (kesimpulan ditarik setelah melakukan pengujian secara
berulang), sedangkan filsafat bersifat priori(kesimpulan ditarik tanpa
pengujian tetapi pemikiran dan perenungan).Keduanya sama-samamenggunakan aktivitas
berfikir, walaupun cara berfikirnya berbeda. Keduanya juga sama-sama mencari kebenaran. Kebenaran filsafat tidakdapat dibuktikan oleh
filsafat sendiri tetapihanya dapat dibuktikan oleh teorikeilmu anmelalui observasi
ataupun eksperimen untuk mendapatkan justifikasi. Filsafat dapat merangsang lahirnya
keinginan dari temuan filosofisme lalui berbagai observasi dan eksperimenyang
melahirkan ilmu-ilmu. Hasil kerja filosofis dapat menjadi pembuka bagi lahirnya
suatu ilmu, oleh karena itu filsafatd isebut juga sebagai induk ilmu (mother of
science). Untuk kepentingan perkembangan ilmu, lahir disiplin filsafat yang
mengkaj iilmu pengetahuan yang dikenal sebagai filsafat ilmu pengetahuan.
Ciri Ciri Berfikir Berfikir
Filsafat
Filsafat Berfilsafat dapat
diartikan sebagai berfikir. Ciriberfikir filsafatadalah:
a.Radikal:berfikirradikalartinyaberfikirsampaikeakar
permasalahannya.
b.Sistematik,
berfikiryang logis, sesuaiaturan, langkah demilangkah, berurutan,
penuhkesadaran, danpenuh tanggungjawab.
c.Universal,
berfikirsecaramenyeluruhtidakterbatas
padabagiantertentutetapimencakupseleuruhaspek. d.Spekulatif,
berfikirspekulatifterhadapkebenaran yang perlupengujianuntukmemberikanbukti
kebenaranyang difikirkannya.
Cabang Cabang Filsafat Filsafat
Filsafatmengkajilima
cabangutamayaitu:
1.Logika(halyang
benardansalah)
2.Etika(halyang
baikdanburuk)
3.Estetika(halyang
indahdanjelek)
4.Metafisika(hakekatkeberadaanzat, pikiran,
dankaitannya
5.Politik(organisasipemerintahanyang
ideal) Kelimacabanginiberkembanglagimenjadi cabang-cabang filsafat yang lebihs
pesifik.
Pada dasarnya cara kerja sain adalah kerja mencari hubungan sebab-akibat
atau mencari pengaruh sesuatu terhadap yang lain. Asumsi dasar sain ialah tidak ada
kejadian tanpa sebab.Asumsi ini oleh Fred N. Kerlinger ( Foundation of Behavior
Research , 1973:378) dirumuskan dalam ungkapan post hoc, ergo propter hoc (ini,
tentu disebabkan oleh ini). Asumsi ini benar bila sebab akibat itu memiliki
hubungan rasional. Ilmu atau sain berisi
teori. Teori itu pada dasarnya menerangkan hubungan sebab akibat. Sain tidak
memberikan nilai baik atau buruk, halal atau haram, sopan atau tidak sopan,
indah atau tidak indah; sain hanya memberikan nilai benar atau salah.
Struktur Sain Dalam garis besarnya sain dibagi dua, yaitu
sain kealaman dan sain sosial. Contoh berikut ini hendak menjelaskan struktur
sain dalam bentuk nama-nama ilmu. Nama ilmu banyak sekali, berikut ditulis beberapa
saja diantaranya:
1) Sain Kealaman • Astronomi ; • Fisika :
mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir; • Kimia : kimia organik,
kimia teknik; • Ilmu Bumi : paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia,
mineralogi, geografi; • Ilmu Hayati : biofisika, botani, zoologi;
2)
Sain Sosial • Sosiologi : sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi
pendidikan • Antropologi : antropologi budaya, antropologi ekonomi, entropologi
politik. • Psikologi : psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi
abnormal; • Ekonomi : ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan; •
Politik : politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional Agar
sekaligus tampak lengkap, berikut ditambahkan Humaniora.
3)
Humaniora • Seni : seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari; • Hukum :
hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin dapat dimasukkan ke
sain sosial); Sejarah : sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat
dimasukkan ke sain sosial). Demikian sebagian kecil dari nama ilmu (sain).
Ditambahkan juga pengetahuan Humaniora (yang mungkin dapat digolongkan dalam
sain sosial) dalam daftar di atas hanyalah dengan tujuan agar tampak lengkap.(Bahan
diambil dari Ensiklopedi Indonesia ).
Epistemologi
Sain Pada bagian ini diuraikan obyek
pengetahuan sain, cara memperoleh pengetahuan sain dan cara mengukur
benar-tidaknya pengetahuan sain.
1. Objek
Pengetahuan Sain
Objek
pengetahuan sain (yaitu objek-objek yang diteliti sain) ialah semua objek yang
empiris. Jujun S. Suriasumantri ( Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer ,
1994: 105) menyatakan bahwa objek kajian sain hanyalah objek yang berada dalam
ruang lingkup pengalaman manusia. Yang dimaksud pengalaman di sini ialah
pengalaman indera. Objek kajian sain
haruslah objek-objek yang empiris sebab bukti-bukti yang harus ia temukan
adalah bukti-bukti yang empiris. Bukti empiris ini diperlukan untuk menguji
bukti rasional yang telah dirumuskan dalam hipotesis. Apakah objek yang boleh diteliti oleh sain
itu bebas? Artinya, apakah sain boleh meneliti apa saja asal empiris? Menurut
sain ia boleh meneliti apa saja, ia ebas; menurut filsafat akan tergantung pada
filsafat yang mana; menurut agama belum tentu bebas. Objek-objek yang dapat diteliti oleh sain
banyak sekali: alam, tetumbuhan, hewan, dan manusia, serta kejadian-kejadian di
sekitar alam, tetumbuhan, hewan dan manusia itu; semuanya dapat diteliti oleh
sain. Dari penelitian itulah muncul teori-teori sain. Teori-teori itu
berkelompok atau dikelompokkan dalam masing- masing cabang sain.
2. Cara
Memperoleh Pengetahuan Sain
Pengalaman manusia sudah berkembang sejak
lama. Yang dapat dicatat dengan baik ialah sejak tahun 600-an SM. Yang
mula-mula timbul agaknya ialah pengetahuan filsafat dan hampir bersamaan dengan
itu berkembang pula pengetahuan sain dan pengetahuan mistik. Perkembangan sain didorong oleh paham
Muhanisme. Humanisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu
mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama
(Yunani Kuno). Sejak zaman dahulu,
manusia telah menginginkan adanya aturan untuk mengatur manusia. Tujuannya
ialah agar manusia itu hidup teratur. Hidup teratur itu sudah menjadi kebutuhan
manusia sejak dahulu. Untuk menjamin tegaknya kehidupan yang teratur itu
diperlukan aturan. Manusia juga perlu
aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam tidak
diatur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu manusia
tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat – manusia ingin
alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus ada aturan untuk mengatur
alam. Bagaimana membuat aturan untuk
mengatur manusia dalam alam? Siapa yang dapat membuat aturan itu? Orang Yunani
Kuno sudah menemukan: manusia itulah yang membuat aturan itu. Humanisme
mengatakan bahwa manusia mampu mengatur dirinya (manusia) dan alam. Jadi,
manusia itulah yang harus membuat aturan untuk mengatur manusia dan alam. Bagaimana membuatnya dan apa alatnya?
Bila
aturan itu dibuat berdasarkan agama atau mitos, maka akan sulit sekali
menghasilkan aturan yang disepakati.
Pertama , mitos itu tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat
aturan untuk mengatur manusia, dan kedua , mitos itu amat tidak mencukupi untuk
dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam. Kalau begitu, apa sumber
aturan itu? Kalau dibuat berdasarkan agama? Kesulitannya ialah agama mana?
Masing-masing agama menyatakan dirinya benar, yang lain salah.
Jadi, seandainya
aturan itu dibuat berdasarkan agama maka akan banyak orang yang menolaknya. Padahal
aturan itu seharusnya disepakati oleh semua orang. Begitulah kira-kira mereka
berpikir. Menurut mereka aturan itu
harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia. Alat
itu ialah akal. Mengapa akal? Pertama , karena akal dianggap mampu, kedua ,
karena akal pada setiap roang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu
ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dan
sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan Rasionalisme. Rasionalisme ialah paham yang mengatakan
bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan dicari
dengan akal, temuannya diukur dengan akal pula.
Dicari dengan akal ialah dicari dengan berpikir logis. Diukur dengan
akal artinya diuji apakah temuan itu logis atau tidak. Bila logis, benar; bila
tidak, salah. Nah , dengan aal itulah aturan untuk mengatur manusia dan alam
itu dibuat. Ini juga berarti bahwa kebenaran itu bersumber pada akal. Dalam proses pembuatan aturan itu, ternyata
temuan akal itu seringkali bertentangan. Kata seseorang ini logis, tetapi kata
orang lain itu logis juga. lain.
Alat itu ialah Empirisme.
Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang
logis dan ada bukti empiris. Nah, dalam
hal anak panah tadi, menurut Empirisisme yang benar adalah bergerak, sebab
secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak. Nah dengan
Empirisisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Tetapi
nanti dulu, ternyata Empirisisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan
Empirisisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada
konsep-konsep yang umum. Kata Empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini
panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas. Kata
Empirisisme, kelereng ini kecil, bulan lebih besar, bumi lebih besar lagi,
matahari sangat besar.
Empirisisme hanya
menemukan konsep yang sifatnya umum. Konsep itu belum operasional, karena belum
terukur. Jadi, masih diperlukan alat lain. Alat lain itu ialah
Positivisme. Positivisme mengajarkan
bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisme, yang terukur. “Terukur”
inilah sumbangan penting Positivisme. Positivisme sudah dapat disetujui untuk
memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam.
Kata Positivisme,
ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur. Tetapi bagaimana
caranya? Kita masih memerlukan alat lain. Alat lain itu ialah Metode Ilmiah.
Sayangnya, Metode Ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; Metode
Ilmiah hanya mengulangi ajaran Positivisme, tetapi lebih operasional. Metode
Ilmiah mengatakan, untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah
berikut: logico-hypothetico-verificartif . Maksudnya, mula-mula buktikan bahwa
itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan
pembuktian hipotesis itu secara empiris.
Dengan rumus Metode Ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode Ilmiah
itu secara teknis dan rinci menjelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut
Metode Riset. Metode Riset menghasilkan Model-model Penelitian.Dengan
menggunakan Model Penelitian tertentu kita mengadakan penelitian. Hasil-hasil
penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain
dalam berbagai bidang sain. Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi
kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sain, filsafat dan mistik. Urutan
dalam proses terwujudnya aturan seperti yang diuraikan di atas ialah sebagai
berikut: Humanisme Rasionalisme Empirisme Positivisme Metode Ilmiah Metode
Riset Model-model Penelitian Aturan
untuk Mengatur Alam Aturan untuk Mengatur Manusia
Ukuran Kebenaran
Pengetahuan Sain Ilmu berisi
teori-teori. Jika Anda mengambil buku Ilmu (sain) Pendidikan, maka Anda akan
menemukan teori-teori tentang pendidikan. Ilmu Bumi membicarakan teori-teori
tentang bumi, Ilmu Hayat membahas teori-teori tentang makhluk hidup. Demikian
seterusnya. Jadi, isi ilmu ialah teori. Jika kita bertanya apa ukuran kebenaran
sain, maka yang kita tanya ialah apa ukuran kebenaran teori-teori sain. Ada teori Sain Ekonomi: bila penawaran
sedikit, permintaan banyak, maka harga akan naik. Teori ini sangat kuat, karena
kuatnya maka ia ditingkatkan menjadi hukum, disebut hukum penawaran dan
permintaan. Berdasarkan hukum ini, maka barangkali benar dihipotesiskan: Jika
hari hujan terus, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, maka harga beras akan
naik. Untuk membuktikan apakah hipotesis itu benar atau salah, kita cukup
melakukan dua langkah. Pertama , kita uji apakah teori itu logis? Apakah logis
jika hari hujan terus harga gabah akan naik?
Jika hari hujan terus, maka orang tidak dapat menjemur padi, penawaran
beras akan menurun, jumlah orang yang memerlukan tetap, orang berebutan membeli
beras, kesempatan itu dimanfaatkan pedagang beras untuk memperoleh untung
sebesar mungkin, maka harga beras akan naik. Jadi, logislah bila hujan terus
harga beras akan naik.
Hipotesis itu lolos
ujian pertama, uji logika. Kedua , uji empiris. Adakan eksperimen. Buatlah
hujan buatan selama mungkin, mesin pemanas gabah tidak diaktifkan, beras dari
daerah lain tidak masuk. Periksa pasar. Apakah harga beras naik? Secara logika
seharusnya naik. Dalam kenyataan mungkin saja tidak naik, misalnya karena orang
mengganti makannya dengan selain beras. Jika eksperimen itu dikontrol dengan
ketat, hipotesis tadi pasti didukung oleh kenyataan. Jika didukung oleh
kenyataan (beras naik) maka hipotesis itu menjadi teori, dan teori itu benar,
karena ia logis dan empiris. Jika hipotesis
terbukti, maka pada saatnya ia menjadi teori. Jika sesuatu teori selalu benar,
yaitu jika teori itu selalu didukung bukti empiris, maka teori itu naik tingkat
keberadaannya menjadi hukum atau aksioma .
Agaknya banyak mahasiswa menyangka bahwa hipotesis bersifat mungkin
benar mungkin salah, dengan kata lain, hipotesis itu kemungkinan benar atau
salahnya sama besar, fifty-fifty . Prasangkaan itu salah.
Hipotesis (dalam sain) ialah
pernyataan yang sudah benar secara logika, tetapi belum ada bukti empirisnya.
Belum atau tidak ada bukti empiris bukanlah merupakan bukti bahwa hipotesis itu
salah. Hipotesis benar, bila logis, titik. Ada atau tidak ada bukti empirisnya
adalah soal lain. Dari sini tahulah kita bahwa kelogisan suatu hipotesis – juga
teori – lebih penting ketimbang bukti empirisnya. Harap dicatat, bahwa
kesimpulan ini penting.
Aksiologi Sain Pada bagian ini dibicarakan tiga hal saja, p
e t a m a kegunaan sain; kedua , cara sain menyelesaian masalah; ketiga ,
netralitas sain. Sebenarnya, yang kedua itu merupakan contoh aplikasi yang
pertama. r
1.
Kegunaan Pengetahuan Sain Apa guna sain?
Pertanyaannya sama dengan apa guna pengetahuan ilmiah karena sain (ilmu) isinya
teori (ilmiah). Secara umum, teori artinya pendapat yang beralasan. Alasan itu
dapat berupa argumen logis, ini teori filsafat; berupa argumen perasaan atau
keyakinan dan kadang-kadang empiris, ini teori dalam pengetahuan mistik; berupa
argumen logis-empiris, ini teori sain.
Sekurang-kurangnya ada tiga kegunaan teori sain: sebagai alat membuat
eksplanasi, sebagai alat peramal, dan sebagai alat pengontrol.
1) Teori Sebagai Alat
Ekspalanasi Berbagai sain yang ada
sampai sekarang ini secara umum berfungsi sebagai alat untuk membuat eksplanasi
kenyataan. Menurut T. Jacob ( Manusia, Ilmu dan Teknologi , 1993: 7-8) sain merupakan
suatu sistem eksplanasi yang paling dapat diandalkan
2) Teori Sebagai Alat
Peramal Tatkala membuat eksplanasi,
biasanya ilmuwan telah mengetahui juga faktor penyebab terjadinya gejala itu.
Dengan “mengutak-atik” faktor penyebab itu, ilmuwan dapat membuat ramalan.
Dalam bahasa kaum ilmuwan ramalan itu disebut prediksi, untuk membedakannya
dari ramalan dukun. Dalam contoh kurs
dolar tadi, dengan mudah orang ahli meramal. Misalnya, karena bulan-bulan
mendatang hutang luar negeri jatuh tempo semakin banyak, maka diprediksikan
kurs rupiah terhadap dolar akan semakin lemah. Ramalah lain dapat pula dibuat,
misalnya, harga barang dan jasa pada bulan-bulan mendatang akan naik. Pada
contoh dua tadi dapat pula dibuat ramalan.
3) Teori Sebagai Alat
Pengontrol Eksplanasi merupakan bahan
untuk membuat ramalan dan kontrol. Ilmuwan, selain mampu membuat ramalan
berdasarkan eksplanasi gejala, juga dapat membuat kontrol. Perbedaan prediksi
dan kontrol ialah prediksi bersifat pasif; tatkala ada kondisi tertentu, maka kita
dapat membuat prediksi, misalnya akan terjadi ini, itu, begini atau begitu.
Sedangkan kontrol bersifat aktif; terhadap sesuatu keadaan, kita membuat
tindakan atau tindakan-tindakan agar terjadi ini, itu, begini atau begitu.
2.
Cara Sain Menyelesaian Masalah
Ilmu atau sain – yang
isinya teori – dibuat untuk memudahkan kehidupan. Bila kita menghadapi
kesulitan (biasanya disebut masalah), kita menghadapi dan menyelesaikan masalah
itu dengan menggunakan ilmu (sebenarnya menggunakan teori ilmu). Dahulu orang mengambil air di bawah bukit,
orang Sunda menyebutnya di lebak . Tatkala akan mengambil air, orang melalui
jalan menurun sambil membawa wadah air. Tatkala pulang ia melalui jalan
menanjak sambil membawa wadah yang berisi air. Itu menyulitkan kehidupan. Untuk
memudahkan, orang membuat sumur. Air tidak lagi harus diambil di lebak . Air
dapat diambil dari sumur yang dapat dibuat dekat rumah. Membuat sumur memerlukan ilmu. mencari teori
tentang sebab-sebab kenakalan remaja. Biasanya ia cari dalam literatur. Ia
menemukan ada beberapa teori yang menjelaskan sebab- sebab kenakalan remaja.
Diantara teori itu ia pilih teori yang diperkirakannya paling tepat untuk
menyelesaikan masalah kenakalan remaja di kampung itu. Sekarang ia tahu
penyebab kenakalan remaja di kampung itu.
Ketiga , ia kembali membaca literatur lagi. Sekarang ia mencari teori
yang menjelaskan cara memperbaiki remaja nakal. Dalam buku ia baca, bahwa
memperbaiki remaja nakal harus disesuaikan dengan penyebabnya. Ia sudah tahu
penyebabnya, maka ia usulkan tindakan-tindakan yang harus dilakukan oleh
pemimpin, guru, organisasi pemuda, ustadz, orang tua remaja dan polisi serta
penegak hukum. Demikian biasanya cara
ilmuwan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Itu adalah cerita tentang cara sain
menyelesaikan masalah. Cara filsafat dan mistik tentu lain lagi. Langkah baku
sain dalam menyelesaikan masalah: identifikasi masalah, mencari teori,
menetapkan tindakan penyelesaian.
Janganlah hendaknya terlalu mengandalkan sain tatkala timbul masalah.
Ada dua sebab. Pertama , belum tentu teori sain yang ada mampu menyelesaikan
masalah yang dihadapi. Teori itu mungkin memadai pada zaman tertentu, digunakan
untuk menghadapi masalah yang sama pada zaman yang lain, belum tentu teori itu
efektif. Kedua , belum tentu setiap masalah tersedia teori untuk
menyelesaikannya. Masalah selalu berkembang lebih cepat daripada perkembangan
teori. Ilmu kita ternyata tidak pernah mencukupi untuk menyelesaikan masalah
demi masalah yang diharapkan kepada kita.
Apabila sain gagal menyelesaikan suatu masalah yang diajukan kepadanya,
maka sebaiknya masalah itu dihadapkan ke filsafat, mungkin filsafat
3. Bonus Netralitas
Sain Pada tahun 1970-an terjadi polemik
antara Mukti Alin (IAIN Yogyakarta) dengan Sadali (ITB). Mukti Ali menyatakan
bahwa sain itu netral, sementara Sadali berpendapat sain tidak netral. Ternyata
Mukti Ali hanya memancing, ia tidak sungguh-sungguh berpendapat begitu. Dalam ujaran Mukti Ali, waktu itu, sain itu
netral, seperti pisau, digunakan untuk apa saja itu terserah penggunannya.
Pisau itu dapat digunakan untuk membunuh (salah satu perbuatan jahat) dan dapat
juga digunakan untuk perbuatan lain yang baik. Begitulah teori-teori sain, ia
dapat digunakan untuk kebaikan dan dapat pula untuk kejahatan. Kira-kira
begitulah pengertian sain netral itu.
Netral biasanya diartikan tidak memihak. Dalam kata “sain netral”
pengertian itu juga terpakai. Artinya: sain tidak memihak pada kebaikan dan
tidak juga pada kejahatan. Itulah sebabnya istilah sain netral sering diganti
dengan istilah sain bebas nilai. Nah , bebas nilai ( value free ) itulah yang
disebut sain netral; sedangkan lawannya ialah sain terikat, yaitu terikat nilai
( value bound .Apa untungnya bila sain netral? Bila sain itu kita anggap
netral, atau kita mengatakan bahwa sain sebaiknya netral keuntungannya ialah
perkembangan sain akan cepat terjadi. Karena tidak ada yang menghambat atau
menghalangi tatkala peneliti (1) memilih dan menetapkan objek yang hendak
diteliti, (2) cara meneliti, dan (3) tatkala menggunakan produk penelitian.
Orang yang menganggap sain tidak netral, akan dibatasi oleh nilai dalam (1)
memilih objek penelitian, (2) cara meneliti, dan (3) menggunakan hasil
penelitian.
Orang yang beraliran
sain netral akan menggunakan hasil penelitian itu secara bebas, sedang orang
yang bermazhab sain terikat akan menggunakan produk itu hanya untuk kebaikan
saja. Jadi, persoalan netralitas sain itu terdapat baik pada epistemologi,
maupun aksiologi sain. Sebenarnya dalam ontologi pun demikian. Dalam contoh di
atas objek dan metode penelitian adalah epistemologi, sedang penggunaan hasil
penelitian adalah aksiologi. Ontologinya ialah teori yang ditemukan itu.
Ontologi itu pun netral, ia tidak boleh melawan nilai yang diyakini
kebenarannya oleh peneliti. Apa
kerugiannya bila kita ambil paham sain netral? Bila kita paham sain netral?
Bila kita pilih paham sain netral maka kerugiannya ialah ia akan melawan
keyakinan, misalnya keyakinan yang berasal dari agama. Percobaan pada manusia
mungkin akan diartikan sebagai penyiksaan kepada manusia. Maka, penganut sain
tidak netral akan memilih objek penelitian yang mirip dengan manusia. Untuk
melihat proses reproduksi, tentu harus ada pertemuan antara sperma an ovum.
Untuk itu peneliti dari kalangan penganut sain netral tidak akan keberatan
mengambil sepasang lelaki-perempuan yang belum nikah untuk mengadakan hubungan
kelamin yang dari situ diamati bertemunya sperma dan ovum. Peneliti yang
menganut sain tidak netral akan melakukan itu terhadap pasangan yang telah menikah.
Ini pada aspek epistemologi. Yang paling
merugikan kehidupan manusia ialah bila paham sain netral itu telah menerapkan
pahamnya pada aspek aksiologi.
Paham sain tidak
netral adalah paham yang sesuai dengan ajaran semua agama dan sesuai pula
dengan niat ilmuwan tatkala menciptakan teori sain. Jadi, sebenarnya tidak ada
jalan bagi penganut sain netral. Berikut
dikutipkan sebagian dari tulisan Prof. Herman Soewardi, guru besar Filsafat
Ilmu Universitas Padjadjaran Bandung. Kutipan ini dapat digunakan untuk
menambah bahan pertimbangan dalam menentukan apakah sain sebaiknya netral atau
tidak netral. Menurut Herman Soewardi
(Orasi Ilmiah pada Dies Natalis IAIN Sunan Gunung Djati Bandung ke-36 8 April
2004), dari sudut pandang epistemologi, sain terbagi dua, yaitu Sain Formal dan
Sain Emperikal. Menurutnya, Sain Formal itu berada di pikiran kita yang berupa
kontemplasi dengan menggunakan simbol- simbol, merupakan implikasi-implikasi
logis yang tidak berkesudahan. Sain Formal itu netral karena ia berada di dalam
kepala kita dan ia diatur oleh hukum- hukum logika.
Sain Emperikal
disebut Kuhn Sain Normal ( Norm al Science ). Sain Normal muncul dari
paradigma, yaitu suatu pijakan, dari seseorang pakar. Dalam perkembangannya
Sain Normal mengahadapi fenomena yang tidak dapat diterangkan oleh teori sain
yang ada, ini disebut anom ali . Selanjutnya an om ali ini menimbulkan krisis
(ketidakpercayaan para pakar terhadap teori itu) sehingga akan timbul paradigma
baru atau pijakan baru. Inilah perkembangan sain, berubah dari paradigma yang
satu ke paradigma yang lain. Karena itu Sain Normal itu tidak netral. Masalah utama Sain Normal ialah masalah
penginderaan. Padahal kita tahu bahwa metode andalan – bahkan metode
satu-satunya bagi Sain Normal ialah observasi (dalam arti luas), sementara
observasi itu sangat mengandalkan penginderaan. Tetapi pada penginderaan inilah
kelemahan utama Sain Normal. Menurut
cara berpikir Empirisisme penginderaan adalah modal fundamental bagi manusia untuk
mengetahui jagad raya. Tetapi, seperti dikatakan Kuhn, yang orang ketahui itu
tidaklah bersifat tetap, melainkan sementara dan akan berubah setelah terjadi
an om ali . Kini pertanyaannya ialah: Mengapa pengideraan itu ada cacatnya
sehingga pendapat para pakar itu sering tidak sama dan sering berubah? Ini
dijawab oleh Richard Tarnas. Tarnas mengatakan bahwa di depan mata manusia itu
ada “lensa” yang memfilter penglihatan “lensa” itu dipengaruhi oleh nilai,
pengalaman, keterbatasan, trauma dan harapan. Maka, kata Tarnas, sama dengan
Kant, yang ada di benak manusia itu bukanlah jagad raya yang sebenarnya
melainkan sesuatu jagad raya ciptaan manusia itu. Karena itu kausalitas yang
dibangun oleh akal manusia itu menjadi kausalitas yang terlalu sederhana. Bila
manusia mengubah jagad raya (jagad raya buatannya), memang manusia akan
memperoleh apa yang diharapkannya, akan tetapi seringkali disertai oleh
akibat-akibat yang tidak diharapkannya. Kejadian ini (muncul akibat yang tidak
diharapkan) disebut antitetikal dan akibat-akibat yang berupa antitetikal
inilah yang menimbulkan kerusakan-kerusakan di planet kita seperti bolongnya
lapisan ozon. Kekurangan dalam
penginderaan manusia itu, menurut Herman Soewardi, dapat disempurnakan oleh
firman Tuhan. Menurut Herman Soewardi, bila Sain Normal itu netral ia akan
menimbulkan 3R (resah, renggut, rusak). Kayaknya sekarang kita telah
menyaksikan kebenaran thesis Herman Soewardi itu. Karena itu thesis tersebut
perlu mendapat perhatian.
Pada tahun 1993, buku
Tarnas yang berjudul The Passion of the Western Mind , terbit. Dalam buku itu
ada sebuah bab yang berjudul T h e C r i s i s o M o d e r n Science . Menurut Tarnas, sedikitnya ada enam hal yang
menarik perhatian tentang sain modern. Pertama , postulatat dasar sain modern
ialah space, matter, causality, dan observation , ternyata semuanya dinyatakan
tidak benar. Kedua , dianutnya pendapat Kant bahwa yang orang katakan jagad
raya, bukanlah jagad raya yang sebenarnya, tetapi jagad raya sebagaimana
diciptakan oleh pikiran manusia. Ketiga , determinisme Newton kehilangan dasar,
orang pindah ke stochastic. Keempat, partikel-partikel sub-atomatik terbuka
untuk interpretsi spiritual. Kelima , adanya uncertainty sebagaimana ditemukan
oleh Heisenberg. Keenam , kerusakan ekologi dan atmosfir yang menyeluruh yang
disebut Tarnas planetary ecological crisis .
Dari enam hal yang menarik di atas Tarnas menyimpulkan bahwa orang
merasa tahu tentang jagad raya, padahal tidak: tidak ada jaminan orang dapat
tahu; yang dikatakan jagad raya sebenarnya menunjukkan hubungan orang dengan
jagad raya itu, atau jagad raya sebagaimana diciptakan oleh orang itu.
Tentu saja kesimpulan
Tarnas itu sangat menggetarkan. Mengapa sampai demikian? Tarnas menjawab
sendiri: Landasan ilmiah untuk menggambarkan jagad raya dalam sain modern
adalah sangat terbatas bahkan landasan itu cukup berbahaya. Maka kita bertanya, bagaimana kelanjutan sain
modern itu bila postulat- postulat dasarnya dibuktikan tidak benar, dan
terutama bila landasan ilmiahnya terbatas bahkan berbahaya? Tetapi baiklah kita
lihat lebih rinci mengenai kesalahan-kesalahan sain modern itu.
Pertama
, tentang space atau jagad raya. Pandangan sekarang yang berlaku ialah bahwa
space itu terbatas ( finite ), tetapi lepas bentuknya lengkung (tidak linier)
sehingga garis edar benda-benda angkasa berbentuk elips, bukan karena tertarik
gravitasi ke arah matahari melainkan memang bentuknya lengkung. Kini, berlaku
pandangan empat dimensi space-time , bukan hanya tiga seperti pada geometri
Eucled.
Kedua , tentang
matter atau materi. Baik Democritus maupun Newton, memandang materi itu solid .
Pandangan sekarang menyatakan materi itu kosong. Mekanika kuantum
membuktikannya.
Ketiga
, tentang kausalitas. Sain modern menganggap kausalitas itu sederhana. Kini
ditemukan bahwa partikel-partikel saling mempengaruhi tanpa dapat dipahami
bagaimana hubungan kausalitas di antara mereka; kausalitas itu kompleks.
Keempat
, tentang u n c e t a i n t y dari Heisenberg. Ternyata observasi tdh elektron
hanya dapat dilakukan terhadap salah satu posisi atau kecepatannya, selain itu
observer tidak dapat mengobservasinya tanpa merusaknya. Heisenberg menemukan
bahwa gerakan atom tidak dapat keduanya ditetapkan sekaligus, posisi atau
kecepatannya.
Kelima , tentang
partikel sub-atomatik. Capra mendapati bahwa ada semacam kecerdasan elektron,
sehingga kini fisika terbuka untuk menerima interpretasi spiritual. Keenam , kerusakan ekologi menyeluruh. Ini
adalah tanda-tanda konkret adanya dampak buruk sain, ia merupakan kebalikan
dari yang diharapkan dari sain. Dampak itu antara lain berupa kontaminasi air,
udara, tanah, efek buruk berganda pada kehidupan tetumbuhan dan hewan,
kepunahan berbagai species, kerusakan hutan, erosi tanah, pengurasan air tanah,
akumulasi ilmiah yang toksik, efek rumah kaca, bolongnya ozon, salah satu
ujungnya ialah ekonomi dunia semakin runyam.
Karena isi ilmu
adalah teori, maka mengembangkan ilmu adalah teorinya. Ada beberapa kemungkinan
dalam mengembangkan teori. Pertama , menyusun teori baru. Dalam hal ini memang
belum pernah dari teori yang muncul, lantas seseorang menemukan teori baru.
Kedua , menemukan teori baru untuk mengganti teori lama. Dalam kasus ini,
tadinya sudah ada teorinya tetapi karena teori ini sudah tidak mampu
menyelesaikan masalah yang mestinya ia mampu menyelesaikannya, maka teori itu
diganti dengan teori baru. Ketiga , merevisi teori lama. Dalam hal peneliti
atau pengembang, tidak membatalkan teori lama, tidak juga menggantinya dengan
teori baru, ia hanya merevisi, ia hanya menyempurnakan teori lama itu. Keempat
, membatalkan teori lama. Ia hanya membatalkan, tidak menggantinya dengan teori
baru. Ini aneh: ia mengurangi jumlah teori yang sudah ada, ia membatalkan teori
dan tidak menggantinya dengan teori baru, tetapi tetap dikatakan ia
mengembangkan ilmu. Bagaimana prosedur
serta langkah-langkah pengembangan ilmu akan amat ditentukan oleh jenis
ilmunya. Itu memerlukan organisasi, ada managernya. Itu memerlukan biaya tinggi
kadang-kadang memerlukan tenaga yang sedikit atau banyak; memerlukan waktu, ada
yang sebentar dari yang lama, bahkan ada yang sangat lama.
BAB
II
PENGETAHUAN FILSAFAT
Pada bab ini
dibicarakan ontologi, epistemologi dan aksiologi filsafat. Ontologi
membicarakan hakikat, objek dan struktur filsafat. Epistemologi membahas cara
memperoleh dan ukuran kebenaran pengetahuan filsafat. Aksiologi mendiskusikan
masalah kegunaan filsafat dan cara filsafat menyelesaikan masalah yang
dihadapi. Dibicarakan juga pada bab ini masalah netralitas filsafat yang akan
membahas apakah filsafat itu sebaiknya netral ( value free ) atau terikar (
value bound ).
A.Antologi
Filsafat
Ontologi filsafat membicarakan hakikat filsafat,
yaitu apa pengetahuan filsafat itu sebenarnya. Struktur filsafat dibahas juga
di sini. Yang dimaksud struktur di sini ialah cabang-cabang filsafat serta isi
(yaitu teori) dalam setiap cabang itu. Yang dibicarakan di sini hanyalah
cabang-cabang saja, itupun hanya sebagian. Teori dalam setiap cabang tentu
sangat banyak dan itu tidak dibicarakan di sini. Struktur dalam arti cabang-cabang
filsafat sering juga disebut sistematika filsafat.
1. Hakikat
Pengetahuan Filsafat Hatta mengatakan
bahwa pengertian filsafat lebih baik tidak dibicarakan lebih dulu; nanti bila
orang telah banyak mempelajari filsafat orang itu akan mengerti dengan
sendirinya apa filsafat itu (Hatta, Alam Pikiran Yunani , 1966,I:3) Langeveld
juga berpendapat seperti itu. Katanya, setelah orang berfilsafat sendiri,
barulah ia maklum apa filsafat itu, makin dalam ia berfilsafat akan semakin
mengerti ia apa filsafat itu (Langeveld, Menuju ke Pemikiran Filsafat ,
1961:9). Pendapat Hatta dan Langeveld
itu benar, tetapi apa salahnya mencoba menjelaskan pengertian filsafat dalam
bentuk suatu uraian. Dari uraian ini diharapkan pembaca mengetahui apa filsafat
itu, sekalipun belum lengkap. Dan dari situ akan dapat ditangkap apa itu
pengetahuan filsafat. Poedjawijatna (
Pembimbing ke Alam Filsafat , 1974:11) mendefinisikan filsafat sebagai sejenis
pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala
sesuatu berdasarkan akal pikiran belaka. Hasbullah Bakry ( Sistematik Filsafat
, 1971:11) mengatakan bahwa filsafat sejenis pengetahuan yang menyelidiki
segala sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alam semesta dan manusia,
sehingga dapat menghasilkan pengetahuan tentang bagaimana hakikatnya sejauh
yang dapat dicapai akal manusia dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya
setelah mencapai pengetahuan itu.
Definisi Poedjawijatna dan Hasbullah Bakry menjelaskan satu hal yang
penting yaitu bahwa filsafat itu pengetahuan yang diperoleh dari berpikir.
Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab 1, memang ciri khas filsafat malah ia
diperoleh dengan berpikir dan hasilnya berupa pemikiran (yang logis tetapi
tidak empiris). Apa yang diingatkan oleh
Hatta dan Langeveld memang ada benarnya. Kita sebenarnya tidak cukup hanya dengan
mengatakan filsafat ialah hasil pemikiran yang tidak empiris, karena pernyataan
itu memang belum lengkap. Bertnard Russel menyatakan bahwa filsafat adalah the
attempt to answer ultimate question critically (Joe Park, Selected Reading in
the Philosophy of Education , 1960:3). D.C. Mulder ( P e m b i m b i n g k e D
a l m I l m u F il s a a t , 1966:10) mendefinisikan filsafat sebagai pemikiran
teoritis tentang susunan kenyataan sebagai keseluruhan. William James (
Encyclopedia of Philosophy , 1967:219) menyimpulkan bahwa filsafat ialah a collective
name for que stion which have not been answered to the satisficati on of all
that have asked them . Namun, dengan mengatakan bahwa filsafat ialah hasil
pemikiran yang hanya logis, kita telah menyebutkan inti sari filsafat. Pada Bab
1 telah saya jelaskan (cobalah lihat kembali matrik itu) bahwa pengetahuan
manusia ada tiga macam yaitu pengetahuan sain, pengetahuan filsafat dan
pengetahuan mistik; pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis dan tidak
empiris.
2. Struktur
Filsafat Hasil berpikir tentang yang ada
dan mungkin ada itu tadi telah terkumpul banyak sekali, dalam buku tebal maupun
tipis. Setelah disusun secara sistematis, itulah yang disebut sistematika
filsafat. Yang inilah yang saya maksud dengan struktur filsafat. Filsafat
terdiri atas tiga cabang besar yaitu : antologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ketiga cabang itu
sebenarnya merupakan satu kesatuan: • antologi, membicarakan hakikat (segala
sesuatu) ini berupa pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu; • epistmologi aksiologi,
membicarakan guna pengetahuan itu. Antologi mencakupi banyak sekali filsafat,
mungkin semua filsafat masuk di sini, misalnya Logika, Metafisika, Kosmologi,
Teologi, Antropologi, Etika, Estetika, Filsafat Pendidikan, Filsafat Hukum dan
lain-lain. Epistemologi hanya mencakup satu bidang saja yang disebut
Epistemologi yang membicarakan cara memperoleh pengetahuan filsafat. Ini
berlaku bagi setiap cabang filsafat. Sedangkan aksiologi hanya mencakup satu
cabang filsafat yaitu Aksiologi yang membicarakan guna pengetahuan filsafat.
Inipun berlaku bagi semua cabang filsafat. Inilah kerangka struktur
filsafat. Salah satu filsafat yang masih
“baru” ialah Filsafat Perennial. Karena baru, filsafat itu diuraikan ala
kadarnya berikut ini.
Filsafat Perennial1
Istilah perennial berasal dari bahasa Latin perennis yang kemudian diadopsi ke
dalam bahasa Inggris perennial yang berarti kekal (Kommaruddin Hidayat dan
Muhammad Wahyuni Nafis, A g a m a M a s a D e p a n : P e r s p e k ti f F il s
a f t Perennial , 1995:1). Dengan demikian, Filsafat Perennial ( Philosophia
Perennis ) adalah filsafat yang dipandang dapat menjelaskan segala kejadian
yang bersifat hakiki, menyangkut kearifan yang diperlukan dalam menjalani hidup
yang benar, yang menjadi hakikat seluruh agama dan tradisi besar spiritualitas
manusia
Diadopsi dari makalah
Adeng Muchtar Ghazali, mahasiswa S2 IAIN Bandung Angkatan 1997/1998 Berkaitan
dengan itu, Aldous Huxley yang dalam pertengahan abad 19 mempopulerkan istilah
perennial melalui bukunya The Perennial Philosophy mengemukakan bahwa hakikat
Filsafat Perennial, ada tiga yaitu m e t a f i i k a , psikologi dan etika (
The Perennial Philosophy , 1945:vii). s Metafisika untuk mengetahui adanya
hakikat realitas Ilahi yang merupakan substansi dunia ini baik yang material,
biologis maupun intelektual. Psikologi adalah jalan untuk mengetahui adanya
sesuatu dalam diri manusia (yaitu soul ) yang identik dengan Realitas Ilahi.
Dan etika adalah yang meletakkan tujuan kahir kehidupan manusia.
Dengan demikian, maka
Filsafat Perennial memperlihatkan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam
semester ini dengan Realitas Ilahi itu. Realitas pengetahuan tersebut hanya
dapat dicapai melalui apa yang disebut Plotinus intelek atau soul atau spirit
yang jalannya pun hanya melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol,
dan sarana-sarana yang diyakini oleh kalangan perennialis sebagai berasal dari
Tuhan (lihat Komaruddin Hidayat, 1995:xxix).
Pengenalan metafisika lebih dahulu sebelum pengetahuan lainnya mungkin
disebabkan karena perkembangan filsafat pada awalnya adalah metafisika,
sehingga untuk memahami isi alam harus dipahami lebih dahulu wujud Tuhan.
Mengenai psikologi sebagai hal kedua yang harus dikenali adanya karena
kenyataan bahwa Tuhan sebagai tujuank merupakan sesuatu yang tidak terbatas
yang hanya dapat diketahui oleh bagian dari unsur “dalam” manusia. Atas dasar tersebut dapat dikemukakan bahwa
pembicaraan tentang cara mengetahui (epistemologi) objek Filsafat Perennial
sama artinya dengan pembicaraan tentang proses batin manusia “menangkap”
Realitas Absolut itu.
Bagi orang yang telah
terbiasa dengan Rasionalisme atau Empirisme pembedaan ini agak sulit dilakukan.
Bukankah manusia sudah real lalu ada realitas lain yang lebih real yang
tampak? Mengenai hal ini Houston Smith
mengemukakan alegori Plato sebagai analognya. Mengenai alegori Plato bacalah
uraian Plato mengenai manusia guna ( cave man ) lihat misalnya dalam Ahmad
Tafsir, Filsafat Umum, (1990:49-50). Dalam legenda Plato itu orang yang punya
bayangan orang itu adalah sesuatu yang real, tetapi orang yang punya bayangan
adalah lebih real dibandingkan dengan bayangannya. Di dalam alegori itu hendak digambarkan juga
(oleh Plato) bahwa manusia yang tidak dilengkapi dengan “cahaya” akan terus
berkutat pada bentuk tertentu dan tidak akan tiba pada dimensi yang lebih
tinggi. Hanya dengan “cahaya” itulah manusia akan mampu melihat adanya dimensi
lain yang lebih real daripada ia lihat sekarang. Inti alegori itu adalah untuk menggambarkan
kemungkinan adanya sesuatu kehidupan yang lebih tinggi yang sekarang sulit
dipahami karena manusia tidak mampu ikut serta dalam penampakannya. Manusia
dikelilingi oleh benda-benda, benda-benda itu membatasi manusia untuk meningkat
ke kualitas lebih tinggi. Manusia mampu meningkat ke tingkat lebih tinggi itu
dengan kemampuan “cahaya”. Dengan demikian, jelaslah bahwa ada hirarki
realitas. Realitas tanpa batas hanya
dapat diungkapkan melalui citra-citra. Melalui pencitraan itu realitas tanpa
batas dapat diukur dalam enam hal yakni energi, durasi, ruang lingkup,
kesatuan, nilai penting, dan kebaikan
William James
mengatakan bahwa dikatakan real jika sesuatu menyebabkan kita berkewajiban
untuk berurusan dengannya (William James, Some Problems of Philosophy ,
1971:101). Suatu wujud dikatakan tak
terhingga jika ia memasuki enam kategori di atas. Misalnya jika energi atau
power tak terhingga, ia Maha Kuasa, jika durasi tak terhingga, artinya
durasinya tak terputus, maka ia Abadi; jika ruang lingkupnya tak terbatas, ia
Ada dimana-mana; jika kesatuannya tanpa syarat, ia Murni (tidak memuat apapun);
jika nilai pentingnya diutamakan, ia menjadi Mutlak; jika kebaikannya
ditonjolkan, ia Mahasempurna. Kesemuanya itu adalah Tuhan. Pembicaraan mengenai objek utama Filsafat
Perennial tentu akan sulit bila tidak dihubungkan dengan alam sebagai citraan
Tuhan. Tuhan dan alam sesuai dengan hirarkinya masing-masing harus dibicarakan.
Pembicaraan ini berakibat pada penciptaan eksistensi yang hirarkis dari atas ke
bawah, yang lebih atas berarti lebih real yaitu Godhead atau Yang Tak
Terhingga, yaitu Tuhan menyatakan adanya level lebih real bukan berarti level
di bawahnya tidak real melainkan kurang real dibandingkan dengan eksistensi
level di atasnya. Psikologi . Manusia
adalah makhluk yang mencerminkan alam raya, demikian juga sebaliknya. Manusia
suatu saat dapat menjadi makrokosmos pada saat yang lain menjadi mikrokosmos.
Kedua kemungkinan itu akan berpengaruh pada penilaian mana yang lebih baik
dalam hirarki kemanusiaan. Yang terbaik dalam diri manusia adalah yang paling
“dalam”, ia adalah basis dan dasar bagi wujud manusia. Pada basis yang paling
dalam inilah kaum sufi menemukan suatu lokus percakapan antara mansuia dengan
Tuhan (lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX , 1983:58). Untuk memahami lebih ja
Filsafat Perennial
yang mencoba mencari keabadian, memilih Aku-Subyek yang tak terhingga yang
menenggelamkan diri pada pusat diri yang paling dalam, menutup segala permukaan
inderawi, persepsi maupun pemikiran, dibungkus dalam kantung jiwa yang bersifat
Ilahi, sehingga masuk pada suatu pencapaian yang bukan jiwa, bukan personal,
melainkan Segala-Diri ( all-self ) yang melampaui segala kedirian. Filsafat
Perennial menggariskan bahwa di dalam manusia “menginkarnasi” Tuhan yang tak
terhingga, jika manusia mampu membuang penutup-penutup akal indrawi, membuang
kerangkeng materi dan terbang melampaui ruang dan waktu. Kondisi semacam itulah
mungkin yang diungkapkan oleh Gabriel Marcel “Semakin dalam aku menjangkau
diriku, semakin tampak ia melampaui diriku” (lihat Mathias Haryadi, Membina
Hubungan antar Pribadi Berdasarkan Prinsi p Partisipasi, Persekutuan dan Cinta
Menurut Gabriel Marcel , 1996:49-57).
Manusia mampu menangkap
limpahan Aku-Subyek yang tak terbatas di saat sedang tenggelam dalam tugas yang
tidak memberikan sedikitpun perhatian pada kepentingan pribadi. Dalam bahasa
I-Me tidak ada lagi me yang tersisa. Maqam itu dapat dicapai melalui empat
level. Pertama , sebuah kehidupan yang secara primer diidentikkan dengan
kesenangan dan kebutuhan fisik (memberi atau menerima, hidup sekedar
menghabiskan umur) akan bersifat atau bernilai pinggiran; kedua seseorang yang
dapat mengembangkan perhatian pada akal, ini dapat menjadi diri yang menarik;
ketiga , jika manusia dapat beralih pada hati, ia akan menjadi orang baik;
keempat , jika ia dapat melewatinya dan sampai ke roh, yang menjaga dari lupa
diri dan mempertahankan egalitarianisme yakni kepentingan pribadi sama dengan kepentingan
orang lain, ia akan menjadi orang sempurna (Houston Smith, 1979:18). Filsafat Perennial bukan berarti tidak
menghargai akal. Namun dalam menghargai akal itu yang dihargai ialah orang yang
menggunakannya bukan pada kemampuan akal itu.
Etika. Suasana batin tertentu pada tataran psikologis ternyata sanggup
menembus sampai kesejatiannya.
Etika adalah kumpulan
untuk mengefektifkan usaha transformasi diri yang akan memungkinkan untuk
mengalami dunia dengan cara baru. Melakukan perubahan, reformasi dan pengaturan
akan membawa ke arah kondisi diri yang baru, mencakup bagaimana prinsip-prinsip
untuk mengetahui dunia secara lebih sejati dari sekedar penampakannya apa
adanya. Isi etika adalah bentuk-bentuk
kerendahatian, kedermawanan, ketulusan. Kerendahhatian merupakan kapasitas
untuk membuat jarak diri dengan kepentingan pribadinya, menjauhkan ego sehingga
ia dapat melihatnya secara objektif dan akurat. Tiga kebaikan utama ini
masing-masing berkaitan dengan tatanan manusia. Ketulusan adalah kemampuan untuk
mengetahui benda-benda secara aktual dan objektif. Kedermawanan adalah melihat
orang lain seperti pada dirinya sendiri, sedangkan kerendahhatian adalah
melihat diri sendiri seperti orang lain.
Filsafat Post Modern
( Post Modern Philosophy ) Di dalam literature
filsafat, biasanya babakan sejarah filsafat dibagi tiga. Pertama , Filsafat
Yunani Kuno ( Ancient Philosophy ) yang didominasi Rasionalisme, kedua Filsafat
Abad Tengah ( Middle Ages Philosophy ), disebut juga The Dark Ages Philosophy (
Filsafat Abad Kegelapan ), yang didominasi oleh pemikiran tokoh Kristen, ketiga
Filsafat Modern ( Modern Philosophy ) yang didominasi lagi oleh
Rasionalisme. Akhir-akhir ini agaknya
telah muncul babakan keempat , yaitu Filsafat Pascamodern ( Post Modern
Philosophy ). Jika periode pertama
didominasi rasio, periode kedua didominasi pemikiran tokoh Kristen, periode
ketiga didominasi rasio lagi, maka pada periode keempat itu apa yang
mendominasi? Pada intinya, filsafat
Pascamodern (anak-anak sering menyebutnya Posmo) mengkritik Filsafat Modern.
Orang-orang Posmo mengatakan Filsafat Modern itu harus didekonstruksi. Karena
Filsafat Modern itu didominasi Rasionalisme, maka yang didekonstruksi itu
adalah Rasionalisme itu. Rasionalisme
ialah paham filsafat yang mengatakan akal itulah alat pencari dan pengukur
kebenaran. Nah, paham itulah yang didekonstruksi oleh Filsafat Posmo.
B. Epistemologi Filsafat
Epistemologi filsafat
membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu yang dipikirkan), cara
memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran (pengetahuan) filsafat.
1. Objek Filsafat Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran
yang sebenarnya, yang terdalam. Jika hasil pemikiran itu disusun, maka susunan
itulah yang kita sebut sistematika Filsafat. Sistematika atau Struktur Filsafat
dalam garis besar terdiri atas antologi, epistemologi dan aksiologi. Isi setiap cabang filsafat ditentukan oleh
objek apa yang diteliti (dipikirkan)nya. Jika ia memikirkan pendidikan maka
jadilah Filsafat Pendidikan. Jika yang dipikirkannya hukum maka hasilnya
tentulah Filsafat Hukum, dan seterusnya. Seberapa luas yang mungkin dapat
dipikirkan? Luas sekali. Yaitu semua yang ada dan mungkin ada. Inilah objek
filsafat. Jika ia memikirkan pengetahuan jadilah ia Filsafat Ilmu, jika memikirkan
etika jadilah Filsafat Etika, dan seterusnya.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari
objek penelitian sain. Sain hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat
meneliti objek yang ada dan mungkin ada. Sebenarnya masih ada objek lain yang
disebut objek forma yang menjelaskan sifat kemendalaman penelitian filsafat.
Ini dibicarakan pada epistemologi filsafat.
Perlu juga ditegaskan (lagi) bahwa saink meneliti objek-objek yang ada
dan empiris; yang ada tetapi abstrak (tidak empiris) tidak dapat diteliti oleh
sain. Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang
mungkin ada, sudah jelas abstrak itu pun jika ada.
2. Cara Memperoleh Pengetahuan
Filsafat Pertama-tama filosof harus
membicarakan (mempertanggung jawabkan) cara mereka memperoleh pengetahuan
filsafat. Yang menyebabkan kita hormat kepada para filosof antara lain ialah
karena ketelitian mereka, sebelum mencari pengetahuan mereka membicarakan lebih
dahulu (dan mempertanggungjawabkan) cara memperoleh pengetahuan tersebut. Sifat
itu sering kurang dipedulikan oleh kebanyakan orang. Pada umumnya orang
mementingkan apa yang diperoleh atau diketahui, bukan cara memperoleh atau
mengetahuinya. Ini gegabah, para filosof bukan orang yang gegabah. Berfilsafat ialah berpikir. Berpikir itu
tentu menggunakan akal. Menjadi persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke
(Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat , II, 1973:111) mempersoalkan hal ini. Ia
melihat, pada zamannya akal telah digunakan secara terlalu bebas, telah
digunakan sampai di luar batas kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan
pemikiran pada masa itu. Sejak 650 SM
sampai berakhirnya filsafat Yunani, akal mendominasi. Selama 1500 tahun
sesudahnya, yaitu selama Abad Tengah Kristen, akal harus tunduk pada keyakinan
Kristen; akal di bawah, agama (Kristen) mendominasi. Sejak Descartes, tokoh
pertama filsafat Modern, akal kembali mendominasi filsafat. Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sum
nya berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal
mendominasi filsafat. Sejak ini filsafat didominasi oleh akal. Akal menang
lagi. Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman. Francis Bacon amat
yakin pada kekuatan Sain dan Logika. Sain dan Logika dianggap mampu
menyelesaikan semua masalah (Will Durant, The Story of Philosophy , 1959:254).
Condoret mendukung Bacon : Sain dan Logika itulah yang penting. Kemudian
pemikiran ini diikuti pula oleh pemikir Jerman Christian Wolff dan Lessing.
Bahkan pemikir-pemikir Prancis mendramatisasi keadaan ini sehingga akal telah
dituhankan (lihat Durant, 1959:254). Spinoza meningkatkan kemampuan akal
tatkala ia menyimpulkan bahwa alam semester ini laksana suatu sistem matematika
dan dapat dijelaskan secara a priori dengan cara mendeduksi aksioma- aksioma.
Filsafat ini jelas memberikan dukungan kepada kepongahan manusia dalam
menggunakan akalnya. Karena itu tidaklah perlu kaget tatkala Hobbes
meningkatkan kemampuan akal ini menjadi Atheisme dan Materalisme yang
nonkompromis. Sejak Spinoza sampai
Diderot kepingan-kepingan ima telah tunduk di bawah kaidah-kaidah akliah.
Helvetius dan Holbach menawarkan idea yang “edan” itu di Prancis, dan La
Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti mesin, menjajakan pemikiran ini di
Jerman. Tatkala pada tahun 1784 Lessing mengumumkan bahwa ia menjadi pengikut
Spinoza, itu telah cukup sebagai pertanda bahwa iman telah jatuh sampai ke
titik hadirnya dan akal telah berjaya (Lihat Durant, 1959:255). David Hume (1711-1776) tidak begitu senang
pada keadaan ini. Ia menyatakan bila akal telah menentang manusia, maka akan
datang waktunya manusia menantang akal. Apa akal itu sebenarnya? Locke (1632-1704) telah meneliti akal. Ia
berhasil tampil dengan argumennya tentang kerasionalan agama Krsiten.
Pengetahuan kita datang dari pengalaman, begitu katanya. Teorinya tabula rasa
menjelaskan pandangannya itu. Ia berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui
hanya materi, karena itu materialisme harus diterima. Bila penginderaan adalah
asal usul pemikiran, maka kesimpulannya haruslah materi adalah material jiwa. Tidak demikian kita Uskup George Berkeley
(1684-1753) analisis Locke itu justru membuktikan materi itu sebenarnya tidak
ada. David Hume seorang Uskup Irlandia berpendapat lain. Katanya, kita
mengetahui apa jiwa itu, sama dengan kita mengenal materi, yaitu dengan
persepsi, jadi secara internal. Kesimpulannya ialah bahwa jiwa itu bukan
substansi, suatu organ yang memiliki idea-idea; jiwa sekedar suatu nama yang
abstrak untuk menyebut rangkaian idea. Hasilnya, Hume sudah menghancurkan mind
sebagaimana Barkeley menghancurkan materi.
Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan dirinya
berada di tengah-tengah reruntuhan hasil karyanya sendiri. Jangan kaget bila
Anda mendengar kata-kata begini: No matter never mind . Semua ini gara-gara
akal. Akal telah digunakan melebihi kapasitasnya. Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa
sebenarnya akal itu. Di lain pihak, memang Locke berpendapat bahwa kita belum
waktunya membicarakan masalah hakikat sebelum kita mengetahui dengan jelas apa
akal itu sebenarnya. Tetapi baiklah,
kita terima saja bahwa akal itu ada dan ia bekerja berdasarkan suatu cara yang
tidak begitu kita kenal. Aturan kerjanya disebut Logika. Sejauh akal itu
bekerja menurut aturan Logika, agaknya kita dapat menerima kebenarannya. Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan
filsafat?
Dengan berpikir
secara mendalam, tentang sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek pemikirannya
sesuatu yang konkret, tetapi yang hendak diketahuinya ialah bagian “di
belakang” objek konkret itu. Dus abstrak juga.
Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak sesuatu
itu, ia ingin mengetahui sedalam-dalamnya. Kapan pengetahuannya itu dikatakan
mendalam? Dikatakan mendalam tatkala ia sudah berhenti sampai tanda tanya. Dia
tidak dapat maju lagi, disitulah orang berhenti, dan ia telah mengetahui
sesuatu itu secara mendalam. Jadi jelas, mendalam bagi seseorang belum tentu
mendalam bagi orang lain. Seperti telah
disebut di muka, Sain mengetahui sebatas fakta empiris. Ini tidak mendalam.
Filsafat ingin mengetahui di belakang sesuatu yang empiris itu. Inilah yang
disebut mendalam. Tetapi itupun mempunyai rentangan. Sebagaimana hal abstrak di
belakang fakta empiris itu dapat diketahui oleh seseorang, akan banyak
tergantung pada kemampuan berpikir seseorang. Saya misalnya mengetahui bahwa
gula rasanya manis (ini pengetahuan empiric.
.
Orang lain masih dapat melangkah ke langkah ketiga, misalnya ia mengetahui
bahwa Yang Maha Pintar itu adalah Tuhan, ia masih dapat maju lagi misalnya
mengetahui di belakang fakta empiris itu dapat bertingkat-tingkat, dan itu
menjelaskan kemendalaman pengetahuan filsafat seseorang. Untuk mudahnya mungkin dapat
dikatakan begini: berpikir mendalam inilah berpikir tanpa bukti empirik. Pada uraian di atas kita mengetahui akal itu
diperdebatkan oleh ahli akal dan orang-orang yang secara intensif menggunakan
akalnya. Kerja akal, yaitu berpikir mendalam, menghasilkan filsafat. Apakah
dengan demikian berarti teori- teori filsafat itu tidak ada gunanya atau nilai
kebenarannya amat rendah? Tidak juga. Ya, itulah filsafat, kadang-kadang
filsafat diragukan oleh filsafat itu sendiri.
Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empirik, apa yang kita
gunakan? Ya, akal itu. Apapun kelemahan akal, bahkan sekalipun akal amat
diragukan hakikata keberadaannya, toh akal telah menghasilkan apa yang disebut
filsafat. Kelihatannya, ada satu hal yang penting di sini: janganlah hidup ini
digantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini ditentukan seluruhnya oleh
filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum diketahui secara
jelas identitasnya.
Ukuran Kebenaran
Pengetahuan Filsafat Pengetahuan
filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan ini menjelaskan
bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila
logis benar, bila tidak logis, salah.
Ada hal yang patut Anda ingat. Anda tidak boleh menuntut bukti empiris
untuk membuktikan kebenaran filsafat. Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan
yang logis dan hanya logis. Bila logis dan empiris, itu adalah pengetahuan
sain. Kebenaran teori filsafat
ditentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran logis tidaknya tersebut akan
terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan (teori) itu. Fungsi argumen
dalam filsafat sangatlah penting, sama dengan fungsi data pada pengetahuan
sain. Argumen itu menjadi kesatuan dengan konklusi, konklusi itulah yang
disebut teori filsafat. Bobot teori filsafat justru terletak pada kekuatan
argumen, bahkan pada kehebatan konklusi. Karena argumen itu menjadi kesatuan
dengan konklusi, maka boleh juga diterima pendapat yang mengatakan bahwa
filsafat itu argumen. Kebenaran konklusi ditentukan 100% oleh argumennya.
C.Aksiologi Pengetahuan
Filsafat
Di sini diuraikan dua hal, pertama kegunaan
pengetahuan filsafat dan kedua cara filsafat menyelesaikan masalah. 1. Kegunaan
Pengetahuan Filsafat Apa guna
pengetahuan filsafat? Atau apa kegunaan filsafat? Tidak setiap orang perlu
mengetahui filsafat. Tetapi orang yang merasa perlu berpartisipasi dalam
membangun dunia perlu mengetahui filsafat. Mengapa? Karena dunia dibangun oleh
dua kekuatan: agama dan filsafat.
Untuk
mengetahui kegunaan filsafat, kita dapat memulainya dengan melihat filsafat
sebagai tiga hal, p e t m a filsafat sebagai kumpulan teori filsafat, kedua
filsafat sebagai metode pemecahan masalah, ketiga filsafat sebagai pandangan
hidup ( philosophy of life ). r a Mengetahui teori-teori filsafat amat perlu
karena dunia dibentuk oleh teori- teori itu. Jika Anda tidak senang pada Komunisme maka Anda
harus mengetahui Marxisme, karena teori filsafat untuk Komunisme itu ada dalam
Marcisme. Jika Anda menyenangi ajarah Syi’ah Dua Belas di Iran, maka Anda
hendaknya mengetahui filsafat Mulla Shadra. Begitulah kira-kira. Dan jika Anda
hendak membentuk dunia, baik dunia besar maupun dunia kecil (diri sendiri),
maka Anda tidak dapat mengelak hati dari penggunaan teori filsafat. Jadi,
mengetahui teori- teori filsafat amatlah perlu. Filsafat sebagai teori filsafat
juga perlu dipelajari oleh orang yang akan menjadi pengajar dalam bidang
filsafat. Yang amat penting juga ialah
filsafat sebagai methodology , yaitu cara memecahkan masalah yang dihadapi. Di
sini filsafat digunakan sebagai satu cara atau model pemecahan masalah secara
mendalam dan universal. Filsafat selalu mencari sebab terakhir dan dari sudut
pandang seluas-luasnya. Hal ini diuraikan pada bagian lain sesudah ini.
Filsafat sebagai
pandangan hidup tentu perlu juga diketahui. Mengapa misalnya salah seorang
Presiden Amerika (Bill Clinton, 1998), telah mengaku berzina, dan masyarakatnya
tetap banyak yang memberikan dukungan? Mungkinkah hal seperti itu untuk
Indonesia? Presiden Indonesia yang mengaku berzina pasti akan dicopot oleh
masyarakat Indonesia. Mengapa berbeda? Karena masyarakat Indonesia berbeda
pandangan hidupnya dengan masyarakat Amerika.
Filsafat sebagai philosophy of life sama dengan agama, dalam hal sama
mempengaruhi sikap dan tindakan penganutnya. Bila agama dari Tuhan atau dari
langit, maka filsafat (sebagai pandangan hidup) berasal dari pemikiran
manusia. Berikut uraian yang membahas
kegunaan filsafat dalam menentukan philosophy of life . Banyak orang memiliki
pandangan hidup, banyak orang yang menganggap philosophy of life itu sangat
penting dalam menjalani kehidupan.
Pertama
, argumen gerak. Alam ini selalu bergerak. Gerak itu mungkin berasal dari alam
itu sendiri, gerak itu menunjukkan adanya Penggerak. Tuhan adalah Penggerak
Pertama. Kedua , arguman kausalitas.
Tidak ada sesuatu yang mempunyai penyebab pada dirinya sendiri, sebab itu harus
di luar dirinya. Dalam kenyataannya ada rangkaian penyebab. Penyebab pertama
adalah Tuhan yang tidak memerlukan penyebab yang lain. Ketiga , argumen kemungkinan. Adanya alam ini
bersifat mungkin: mungkin ada dan mungkin tidak ada. Kesimpulan diperoleh dari
kenyataan alam ini dimulai dari tidak ada, lalu muncul atau ada kemudian
berkembang, akhirnya rusak dan hilang atau tidak ada. Kenyataan ini
menyimpulkan bahwa alam ini tidak mungkin selalu ada. Dalam diri alam itu ada
dua kemungkinan atau ada dua potensi, yaitu ada dan tidak ada, tetapi dua
kemungkinan itu tidak akan muncul bersamaan pada waktu yang sama. Mula-mula
alam ini tidak ada, lalu ada. Diperlukan Yang Ada untuk mengubah alam dari
tiada menjadi ada, sebab tidak mungkin muncul sesuatu dari tiada ke ada secara otomatis.
Jadi, Ada Pertama itu harus ada. Akan tetapi Ada Pertama yang harus ada itu
dari mana? Kembali lagi kita menghadapi rangkaian penyebab ( tasalsul ). Kita
harus berhenti pada Ada Pertama yaitu yang Harus Ada. Keempat , argumen tingkatan. Isi alam ini
ternyata bertingkat-tingkat ( levels ). Ada yang dihormati, lebih dihormati,
terhormat. Ada indah, lebih indah, sangat indah, dan seterusnya
Tuhan tidak dapat
dibuktikan adanya dengan akal teoritis (maksudnya rasio). Inilah thesis utama
Kant dalam hal ini (lihat lebih jauh Ahmad Tafsir, Filsafat Umum ,
1997:162). Agaknya kita dapat
menyimpulkan bahwa filsafat (dalam hal ini akal logis) dapat berguna untuk
memperkuat keimanan, ini menurut sebagian filosof, seperti Thomas Aquinas;
tetapi menurut filosof lain, seperti Kant, bukti-bukti akliah (dalam arti
rasio) tentang adanya Tuhan sebenarnya lemah, bukti yang kuat adalah suara
hati. Suara hati itu memerintah, bahkan rasio pun tidak mampu melawannya. Berikut adalah uraian lain yang mengupas
kegunaan filsafat bagi pengembangan hukum islami.
Butir-butir aturan
dan ketentuan hukum yang ada dalam fikih pada garis besarnya mencakup tiga
unsur pokok. Pertama , perintah seperti sholat, zakat, puasa dan sebagainya.
Kedua , larangan seperti larangan musyrik, zina dan sebagainya. Ketiga ,
petunjuk seperti cara sholat, cara puasa, dan sebagainya. Keseluruhan unsur pokok di atas bila dilihat
dari sudut sifatnya, ia dapat dibagi dua. Pertama , bersifat tetap, tidak
berpengaruh oleh kondisi tertentu, seperti sebagai aqidah dan seluruh ibadah
mahdhah ; dalam hal ini ijtihad tidak berlaku padanya. Kedua , yang bersifat
dapat berubah sesuai dengan kondisi tertentu, inilah bidang Dalam memberikan
kritik ideologi, yakni menggunakan fungsi kritis filsafat. Pemikiran cara filsafat
amat diperlukan dalam menganalisis ideologi secara kritis, mempertanyakan
dasarnya, memperlihatkan implikasinya dan membuka kedok yang mungkin berada di
belakangnya. Dalam hal ini filsafat itu dapat melakukan dua hal. Pertama ,
kritik terhadap ideologi saingan yang akan merusak Islam atau masyarakat Islam,
kedua kritik terhadap hukum islami, misalnya mempertanyakan apakah hukum itu
seperti itu, apakah itu sesuai dengan esensi yang dikandung oleh teks yang
dijadikan dasar hukum tersebut.
Kesimpulannya, memang benar, filsafat, khususnya filsafat sebagai
metodologi, berguna bagi pengembangan hukum dalam hal ini hukum islami. Bagi perkembangan bahasa pun filsafat ada
gunanya.
Kegunaan Filsafat
bagi Bahasa Disepakati oleh para ahli bahwa bahasa berfungsi sebagai alat untuk
mengekspresikan perasaan dan pikiran. Terlihat adanya hubungan yang erat antara
bahasa dan pikiran. Di antara problem yang dihadapi bahasa ialah dalam
pemeliharaannya.
Bahasa sering tidak mampu
membebaskan diri dari gangguan pemakainya. Orang awam sering merusak bahasa,
mereka menggunakan bahasa tanpa mengikuti kaidah yang benar. Kerusakan bahasa
tersebut biasanya disebabkan oleh tidak digunakannya kaidah logika. Logika itu
filsafat. Filosof adalah “ protoype ”
orang bijaksana. Orang bijaksana tertentu harus menggunakan bahasa yang benar.
Bahasa yang benar itu akan mampu mewakili konsep logis yang dibawakannya.
Karena itu pada logikalah kita menemukan kaitan erat antara bahasa dan
filsafat. Dan pada logika pula kita temukan manfaat konkret bahasa. Peran
logika dalam bahasa ialah memperbaiki bahasa, logika dapat mengetahui kesalahan
bahasa.
Kekeliruan dalam berbahasa melahirkan
kekeliruan dalam berpikir. Berikut beberapa contohnya (lihat Mundiri, Logika,
1994:194). Pertama , kekeliruan karena komposisi. Misalnya kekeliruan dalam
menetapkan sifat pada bagian untuk menyifati keseluruhan, seperti “Setiap kapal
perang suatu negara telah siap tempur, maka keseluruhan angkatan laut telah
siap tempur” atau “Mur ini sangat ringan karena itu mesin ini sangat ringan
pula, Kedua , kekeliruan dalam pembagian atau devisi, yaitu kekeliruan karena
menetapkan sifat keseluruhan maka keliru pula dalam menetapkan sifat bagian.
Misalnya, “Kompleks perumahan ini dibangun pada daerah yang sangat luas tentulah
kamar-kamar tidurnya luas juga”, Ketiga , kekeliruan karena tekanan. Ini
terjadi dalam pembicaraan tatkala salah dalam memberikan tekanan dalam
pengucapan. Misalnya, “Karena kekenyangan ia tertidur”, bila tekanan pada
kekenyangan (“karena kekenyangan ia tertidur”) maka arti kalimat itu akan
berbeda dari kalimat yang pertama: yang pertama biasa yang kedua mengejek.
Keempat , kekeliruan karena amfiboli . Amfiboli terjadi bila kalimat itu
mempunyai arti ganda. Contohnya seperti “Mahasiswa yang duduk di kursi paling
depan
Cara Filsafat Menyelesaikan Masalah
Kegunaan filsafat yang lain ialah sebagai methodology , maksudnya
sebagai metode dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah bahkan sebagai metode
dalam memandang dunia ( world show ). Dalam hidup kita, kita menghadapi
banyak masalah. Masalah artinya kesulitan. Kehidupan akan dijalani lebih enak
bila masalah itu terselesaikan. Ada banyak cara dalam menyelesaikan masalah,
mulai dari yang amat sederhana sampai yang rumit. Filosof lain belum juga puas,
karena menurutnya Hedonisme itu belum penyebab paling awal, Hedonisme itu
sebenarnya turunan Pragmatisme. Pragmatisme itu bersama dengan Liberalisme
lahir dari Rasionalisme.
Karena itu filosof ini mengatakan
yang paling strategis ialah memerangi Rasionalisme itu. Apakah rasionalisme itu
penyebab pertama munculnya kebebasan seks? Untuk sementara, agaknya ya. Maka
untuk memberantas kebebasan seks kita harus menjelaskan bahwa Rasionalisme itu
adalah pemikiran yang salah. Penyelesaian
ini mendalam, karena telah menemukan penyebab yang paling asal. Penyelesaian
itu juga universal, karena yang akan diperbaiki pada akhirnya kelak bukan hanya
persoalan kebebasan seks, hal-hal lain yang merupakan turunan Rasionalisme juga
akan dengan sendirinya hilang.
Netralitas
Filsafat Tatkala menjelaskan netralitas sain kita berkesimpulan seharusnya sain
itu tidak netral artinya sain itu seharusnya tidak bebas nilai. Filsafat
bagaimana? Ada berbagai hal yang menarik
untuk diperhatikan mengenai pertanyaan itu.
Pertama , dalam filsafat ada Filsafat
Nilai atau Etika. Filsafat Etika adalah cabang filsafat yang khusus
membicarakan nilai, yaitu nilai baik buruk. Karena etika membicarakan nilai
maka pastilah etika itu tidak bebas nilai. Adalah mungkin nilai yang digunakan
dalam etika itu bukan nilai dari agama, tetapi tetap saja ia tidak netral
karena ia telah membicarakan buruk dan baik.
Kedua , filsafat itu adalah pemikiran orang, karena pemikiran
orang maka tidaklah mungkin orang itu netral dalam berpikir; sekurang-kurangnya
hasil pemikiran itu telah berpihak pada pemikir itu. Berbeda dengan sain. Peneliti
sain tidak berpikir, teori sain disusun berdasarkan data yang terkumpul bukan
disusun berdasarkan pemikiran peneliti.
Ketiga , masih ada kemungkinan netralnya filsafat, yaitu
pada logika. Mungkin saja logika itu netral. Untuk memastikan ini kita dapat
menganggap logika itu esensinya sama dengan esensi matematika. Nah , jika
matematika dapat dianggap netral, maka logika juga dapat netral. Seandainya Logika kita anggap netral, itu
bukan berarti filsafat itu netral, sebab masih menjadi persoalan apakah logika
itu filsafat atau bukan filsafat. Jika Anda termasuk yang berpandangan bahwa
logika itu adalah bagian dari filsafat, maka Anda harus berpendapat bahwa
sebagian dari filsafat adalah netral.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
Makna Filsafat dari SegiBahasa
Filsafat berasal dari bahasa Yunani,
philosophia atau
philosophos. Philos atau philein berarti teman atau
cinta, dan shopia atau shopos berarti kebijaksanaan, pengetahuan, dan hikmah. Filsafat berarti juga mater scientiarum yang artinya induk dari segala ilmu pengetahuan.
Kata filsafat dalam bahasaIndonesia memiliki padanan kata falsafah (Arab),philosophie (Prancis, Belanda danJerman), sertaphilosophy (Inggris). Dengan demikian filsafat berarti mencintai hal-hal yang
bersifat bijaksana (menjadikatasifat)
bias berarti teman
kebijaksanaan (menjadikatabenda)
atau induk segala ilmu pengetahuan.
Phytagoras(572 -497 SM)
ditahbiskan sebagai orang pertama yang memakai kata philosopia yang berarti
pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom) bukan kebijaksanaan itusendiri.
Plato (427-347 SM)
mengartikannya sebagai ilmu pengetahuan yang berminat mencapai kebenaran yang
hakiki lewat dialektika
Aristoteles(382 –322 SM) mendefinisikan
filsafat sebagai pengetahuan tentang kebenaran.
Al-Farabi (870 –950 )
mengartikanfil safat sebagai ilmu pengetahuan tentang alam maujud dan hakekat
alamy ang sebenarnya.
Descartes(1590 –1650)
mendefinisikanfilsafatsebagai kumpulanilmupengetahuantentangtuhan, alam dan
manusia.
Immanuel Kant (1724
–1804) mendefinisikan filsafat sebagai ilmu pengetahuan yang menjadi pokok dan
pangkal dari segala pengetahuan. Menurut Kant ada empat hal yang dikaji dalam
filsafat yaitu: 1.apa yang dapat manusia ketahui? (metafisika),
2.apayang
seharusnyadiketahuimanusia?(etika),
3.sampai dimana harapan
manusia? ( agama) dan
4. apakah manusia itu?
(antropologi)
Merriam-Webster dalam
kamusnya filsafat adalah literally the love of wisdom, in the actual usage, the
science that investigates the most general facts and prinsciples of reality and
human nature and conduct: logic, ethics, aesthetics and the theory of
knowledge.
Kajian dalam filsafat ada tiga.Masalah
netralitas filsafat yang akan membahas apakah filsafat itu sebaiknya netral (
value free ) atau terikar ( value bound ).
A.Antologi
Filsafat
Ontologi
filsafat membicarakan hakikat filsafat, yaitu apa pengetahuan filsafat itu
sebenarnya.
B. Epistemologi Filsafat
Epistemologi filsafat membicarakan tiga hal, yaitu objek filsafat (yaitu
yang dipikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran
(pengetahuan) filsafat. .
C.Aksiologi
Pengetahuan Filsafat
Kegunaan
Pengetahuan Filsafat Apa guna pengetahuan
filsafat? Atau apa kegunaan filsafat?
Pertama , dalam filsafat ada Filsafat
Nilai atau Etika. Filsafat Etika adalah cabang filsafat yang khusus
membicarakan nilai, yaitu nilai baik buruk. Karena etika membicarakan nilai
maka pastilah etika itu tidak bebas nilai. Adalah mungkin nilai yang digunakan
dalam etika itu bukan nilai dari agama, tetapi tetap saja ia tidak netral
karena ia telah membicarakan buruk dan baik.
Kedua , filsafat
itu adalah pemikiran orang, karena pemikiran orang maka tidaklah mungkin orang
itu netral dalam berpikir; sekurang-kurangnya hasil pemikiran itu telah
berpihak pada pemikir itu. Berbeda
dengan sain. Peneliti sain tidak berpikir, teori sain disusun berdasarkan data
yang terkumpul bukan disusun berdasarkan pemikiran peneliti.
Ketiga , masih ada kemungkinan netralnya filsafat, yaitu
pada logika. Mungkin saja logika itu netral. Untuk memastikan ini kita dapat
menganggap logika itu esensinya sama dengan esensi matematika. Nah , jika
matematika dapat dianggap netral, maka logika juga dapat netral. Seandainya Logika kita anggap netral, itu
bukan berarti filsafat itu netral, sebab masih menjadi persoalan apakah logika
itu filsafat atau bukan filsafat. Jika Anda termasuk yang berpandangan bahwa
logika itu adalah bagian dari filsafat, maka Anda harus berpendapat bahwa
sebagian dari filsafat adalah netral.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah
M.E., Konci Rijki , Jakarta: Hasanah, 1985.
Badrudi
Subkhi, Bid'ah-bid'ah di Indonesia . Jakarta: Gema Insani Press, 1996.
Clifford
Geertz, Abangan Sntri dan Priyai , Pustaka Jawa, 1983.
C.
Mulder, Pembimbing ke dalam Ilmu Filsafat , Jakarta: Badan Penerbit Kristen,
1966.
Davis
L. Silis, International Encyclopedia o f t h e S o c i a l S i e n c e s . New
York: MacMillan Company, 1972. c
Elias,
Modern Dictionary English Arabic , 1968.
Ensiklopedi
Islam .
Fred
N. Kerlinger, Foundation of Behavior Research , New York: Holt, Rinehart and
Winston, 1973.
Frithjof
Schoun, The Trancendent Unity of Religion , New York : Harper and Row, 1975.
Hamka,
Tasauf Perkembangan dan Kemurnian , Jakarta: Nurul Islam, 1980.
Hatta,
Alam Pikiran Yunani , Jakarta: Tinta Mas, 1966.
Ilmu
Hudluri: Prnsip-prnsi p Epistemologi dalam Islam , Bandung: Mizan, 1999.
Herman
Soewardi, T i b a S a a t n y a I l a m K e m b a li Kaffah Kuat dan Berijtihad
(Suatu Kognisi Baru tentang Islam), Bandung: Diterbitkan sendiri oleh
Pengarangnya, 1999. s
Hasbullah
Bakry, Sistematika Filsafat , Jakarta: Widjaja, 1971.
Houston
Smith, Beyond Post-Modern , 1979. (?)
Ibn
Khaldun, Muqaddimah , Dar al-Fikr, 1981.
Ibrahim
Samirra’i, Fiqh al-Lughah al Muqarran , Beyrut: Dar al-Tsaqafah al-Islamiyyah, tt.
Ibn
Miskawaih, Tahdzib al-Aklaq, terjemahan, Mizan, Bandung, 1994.
Ibnu
Mandzur Jamaluddin al-Anshari, Lisan al-‘Arab Kairo: Dar al-Mishiriyyah li
al-Taklif wa al-Tarjamah, tt.
Jauhar
Salim Abbay (penerjemah), Al-Thibb Awasin al Kaey , Jakarta: Yayasan Ibnu
Ruman, tt.
Joe
Park, Selected Reading in The Philosophy of Education , New York: The MacMillan
Company, 1960.
Jujus
S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer , Jakarta: Sinar
Harapan, 1994.
J.
Van Baal, Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya , I, Jakarta:
Gramedia, 1987.
James
Drever, Kamus Antropologi , Penerjemah Nancy Simanjuntak, Jakarta: Bina Aksara,
1986.
Kamus
Umum Bahasa Sunda , Panitia Kamus LBSS, Bandung: Tarate, 1992.
K.
Bertens, Sejarah Filsafat Barat Abad XX , Jakarta: Gramedia, 1983.
Kerlinger,
Foundation
of Behavior Research , New York: Holt, Rinehart and Winston, 1973.
Karl
Jasper, Philosophical Faith and Revelation , London: Colin, 1967.
Komaruddin
Hidayat dan Muhammad Wahyuni, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial ,
Jakarta: Paramadina, 1995.
Langeved,
Menuju ke Pemikiran Filsafat , Djakarta: PT. Pembangunan, 1961.
Lembaga
Seni Bela Diri Hikmatul Iman, Buku Pegangan Anggota , Bandung: LSBDHI, 1993.
Louis
Ma’luf, al Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam , Beirut: Dar al-Marsyriq, 1975.
Mohammad
Hatta, Alam Pikiran Junani , Djakarta: Tintamas, I, 1966.
Mathias
Haryadi, Membina Hubungan Antar Pribadi Berdasarkan Prinsip Partisipasi,
Persektuan dan Cinta Menurut Gabriel Marcel , Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Mundiri,
Logika , PT. Raja Grafindo, Jakarta, 1994.
Murtadla
Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual , Jakarta: Pustaka Hidayah, 1995.
Muhammad
Isa Daud, H i w a r a l - S y a w a f y m a ’ a J i n n i y a l - M u li m ,
Terjemahan Afif Muhammad dan H. Abdul Adhiem, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996. s
Muhammad
bin Abdul Wahab, al-Tauhid alladzi huwa Haqqullah ‘ala al-‘Abid , Libanon: Dar
al-‘Arabiyyah, 1969.
Mahmud
Syaltut, Islam Aqidah wa Syari’ah , Mesir: Dar al-Qalam, 1996.
Maria
Susuei Dhavamony, Fenomenologi Agama , Jakarta: Kanisius, 1997.
Poedjawijatna,
Pembimbing ke Alam Filsafat , Djakarta: PT. Pembangunan, 1974.
Reymond
Firth, Human Types , Terjemahan, Bandung: Sumur Bandung, 1960.
Samudi
Abdullah, Takhayyul dan Magic dalam Pandangan Islam , Bandung: Al-Ma’arif, 1997.
Sihristany,
a l M il a l w a a l N i h a l , Dar al-Fikr, tt.
Sachiko
Murata, The Tao of Islam , Bandung: Mizan, 1996.
Syihabuddin
Yahya al-Syuhrawadi, Hikayat-hikayat Mistis , Bandung: Mizan, 1992.
Syaikh
Wahid Abdul Salam Bali, a l - S h a r i m a l - B a tt a r f i T a s h a d d i
li S a h a r a t al-Asrar , Terjemahan,
Jakarta: Rabbani Press, 1995.
Suroso
Orakas, White Magic , Pekalongan: Bahagia, 1989.
Sidi
Gazalba, Sistematika Filsafat , Djakarta: Bulan Bintang, II, 1973.
Suyono
Ariyono, Kamus Antropologi , Jakarta: Akademika Press, 1985.
T.
Jacob, Manusia, Ilmu dan Teknologi , Yogyakarta: Tiara Wacana, 1993.
Umar
Hasyim, Setan sebagai Tertuduh dalam Masalah Sihir, Takhayyul, Pedukunan dan Azimat
, Surabaya: Bina Ilmu, tt.
Webster’s
New Twentith Century Dictionary of English Language , 1980.
Wahid
Abdul Salam, Wiqayat al-Insan min al-Jinny wa al-Syaithan , Beirut: Dar
al-Kutub al-Ilmiyah, 1998.
Will
Durant, The Story of Philosophy , New York: Simon and Schuster, Inc., 1959.
William
James, Encyclopedia of Philosophy , 1967, (?)
Wililam
James, Some Problems of Philosophy , New York: Longman, 1971.
Wadji
Muhammad al-Syahawi, Memanggil Roh dan Menaklukkan Jin , Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1997.
TENTANG PENULIS
AHMAD TAFSIR, lahir di Bengkulu tahun 1942.
Pendidikannya diawali di Sekolah Rakyat (sekarang SD) di Bengkulu, melanjutkan
sekolah di PGA (Pendidikan Guru Agama) 6 tahun di Yogyakarta. Selanjutnya
belajar di Fakultas Tarbiyah IAIN Yogyakarta, dan menyelesaikan Jurusan
Pendidikan Umum tahun 1969. Tahun 1975-1976 (selama 9 bulan) mengambil Kursus
Filsafat di IAIN Yogyakarta. Tahun 1982 mengambil Program S-2 di IAIN Jakarta.
Tahun 1987 sudah menyelesaikan S-3 di IAIN Jakarta juga. Sejak tahun 1970, Tafsir mengajar di Fakultas
Tarbiyah IAIN Bandung, sampai sekarang. Tahun 1993, Guru Besar Ilmu Pendidikan
ini mempelopori berdirinya Asosiasi Sarjana Pendidikan Islam (ASPI). Sejak
Januari 1997 diangkat menjadi Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN
Bandung. Karya tulisnya tersebar pada
berbagai media. Umumnya menulis tentang pendidikan dan filsafat. Akhir-akhir
ini kerap juga menulis tentang tasawuf. Buku terakhir ini, Filsafat Ilmu:
Menuju Pengetahuan Mistik ialah salah satu kajian beliau tentang mistik. Buku
lain yang sudah dipublikasikan di antaranya: Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak
Thales sampai Capra , Rosdakarya, Bandung cetak ulang kesembilan Februari,
2001; Metodologi Pendidikan Agama Islam , Rosdakarya Bandung, sudah cetakan
keenam; Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam , Rosdakarya, Bandung, cetakan
kelima (2002).
Tidak ada komentar :
Posting Komentar