Wikipedia

Hasil penelusuran

Sabtu, 25 Oktober 2014

MANAJEMEN SEKOLAH MISKIN

                                    MANAJEMEN SEKOLAH MISKIN
                                                   (http://rambatnur.blogspot.com)

                                       MANAJEMEN SEKOLAH MISKIN
(Studi Deskriptif Evaluatif di Berbagai Jenjang Sekolah Provinsi Bengkulu)[*]

Oleh:
Rambat Nur Sasongko (Dosen Pascasarjana Manajemen Pendidikan FKIP Unib)
 Zakaria (Dosen Pascasarjana Manajemen Pendidikan FKIP Unib)dan
 Syalendra (Guru SMKN 2 Kota Bengkulu)

ABSTRACT
The objective of this research is to describe management of poor school in Bengkulu Province. This research used qualitative descriptive method. Subject research are principalships, teachers, and staffs at Kindergarten (TK), Elementary School (SD), Junior High School (SMP), and Senior High School (SMA) Bengkulu Province. Data collecting by depth interviewing, observation, and documentation study. Data analyze used inductive technique by interactive steps and cycle: collecting data, reduction data, display data, conclution and verification. The result of this research show that: (a) the condition of poor school have not fulfilment to national standard qualification, (b) school management to do routine and have not innovation, (c) have several factor to influence poor schools, (d) the efforts to  problems solution has not significant products, and (e) the model of educational management based problem solution is a hipotetic model as effective implementation.
Key words: poor schools, management       
A. PENDAHULUAN
Pengkajian sekolah miskin belum populer. Oleh karena itu terminologi sekolah miskin belum banyak digagas oleh berbagai pakar pendidikan. Selain belum ada karya tulis ilmiah yang mengkaji konsep dan fenomena tersebut, juga belum ada terminologi yang pasti untuk mengangkat perbaikan nasib sekolah miskin. Penelusuran melalui internet ditemukan dalam karya populer Aprianti (2008: 2) yang memberikan terminologi sekolah miskin sebagai pendidikan yang membebaskan iuran dan pungutan segala-galanya dari siswa. Demikian pula Malik (2008: 1) memberikan definisi sekolah miskin merupakan pendidikan untuk anak-anak miskin.
Terminologi sekolah miskin sesungguhnya tidak sempit hanya pada satu sisi kajian. Namun sekolah miskin sesungguhnya mempunyai makna luas, yakni miskin atau kekurangan dari standar baku penyelenggaraan sekolah. Sekolah miskin disini didefinisikan sebagai ketidak mampuan sekolah mencukupi standar pelayanan minimal penyelenggaraan sekolah yang telah ditetapkan oleh pemerintah (Kepmendiknas No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan Minimal Penyelenggaraan TK, SD, SMP, SMA; PP No.19/2005 tentang Standar Nasonal Pendidikan; dan Permendiknas No. 19/2007 tentang Standar Pengelolaan Santuan Pendidikan).
Sesungguhnya penyelenggaraan sekolah harus memenuhi SPM yang ditentukan oleh pemerintah. SPM tersebut mengatur bidang kurikulum, peserta didik, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, peran serta masyarakat, dan manajemen sekolah (BSNP, 2007a, 2007b, dan 2007c). SPM tidak hanya mengatur di SD/MI, namun juga TK/RA, SMP/MTs, dan SMA/MA. Sebagai contoh penyelenggaraan sekolah dalam bidang kurikulum harus menenuhi minimal: (a) ada kurikulum nasional (KTSP/KBK), (b) ada kurikulum lokal, (c) 90% kurikulum dilaksanakan, dan (d) 75% daya serap terhadap kurikulum. Jika sekolah tersebut telah memiliki dokumen kurikulum nasional dan lokal yang telah dirumuskan, namun keterlaksanaan kurikulum dan daya serap kurang hanya 70%; maka sekolah tersebut termasuk kategori sekolah miskin dalam bidang kurikulum. Demikian pula kajian terhadap bidang yang lain, juga harus memenuhi SPM bidang tersebut. Dengan demikian indikator sekolah miskin yakni yang kurang dari SPM dalam bidang kurikulum, peserta didik, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, peran serta masyarakat, dan manajemen sekolah.
         Data yang mengungkap tentang keterpenuhan Standar Pelayanan Minimal (SMP) Penyelenggaraan Sekolah di provinsi Bengkulu secara komprehensif belum ada. Hal itu telah ditelusuri di Dinas Diknas, baik pada tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Namun hasil penelitian yang dilakukan Susanti (2007: 67-72) menunjukkan bahwa SPM pada standar pendidik dan tenaga kependidikan di SD di provinsi Bengkulu hanya terpenuhi 53% dan SMP provinsi Bengkulu terpenuhi sebanyak 76%. Selanjutnya hasil penelitian Saipul (2008: 83-84) tentang kondisi sarana dan prasarana di SMA kabupaten Bengkulu Utara mendeskripsikan terpenuhi 68% dari SPM. Penelitian Rahmi (2008: 75-77) tentang penyelenggaraan TK di Argamakmur kabupaten Bengkulu Utara menunjukkan bahwa 86% guru TK belum memenuhi kualifikasi, sarana dan prasarana tercukupi 52%, pembiayaan kurang terpenuhi 78%, dan terdapat sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan penyelenggaraan sekolah. Sintesis beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa dampak ketidak terpenuhan menyebabkan sekolah kurang bermutu (prestasi rendah), kurang mampu bersaing (jarang memenangkan lomba), dan penyelenggaraan sekolah asal jalan. Kondisi tersebut memberikan implikasi pada manajemen pendidikan. Selain penyelenggaraan sekolah merupakan bidang garapan manajemen pendidikan, juga dampak dari manajemen pendidikan yang kurang bermutu akan memberikan kontribusi pada pembentukan sekolah miskin.
Sesungguhnya mutu pendidikan dari suatu sekolah tergantung dari praktik manajemen pendidikan di sekolah tersebut (Bush and Bell, 2002: 17). Penyelenggaraan sekolah yang mengelola bidang kurikulum, personalia, kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana, dan hubungan masyarakat turut menentukan mutu sekolah (Sasongko, 2008: 7- 9). Manajemen pendidikan yang dikelola dengan memenuhi standar yang baik, maka akan menghasilkan mutu sekolah yang baik pula. Kondisi ini dapat diwujudkan bila manajer pendidikan di sekolah tersebut yakni kepala sekolah memiliki visi dan inovasi ke arah peningkatan mutu sekolah. Tanpa visi dan inovasi, sekolah kurang mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi perbaikan mutu pendidikan. Demikian pula sebaliknya, manajer sekolah yang kurang memiliki visi dan inovasi akan memberikan dampak terhadap pembentukan sekolah miskin.  
Teori tentang sekolah miskin hampir tidak dijumpai. Namun teori manajemen pendidikan terbentang amat banyak. Teori manajemen pendidikan sesungguhnya juga berkaitan dengan fenomena sekolah miskin. Misalnya teori sistem dalam manajemen pendidikan menjelaskan bahwa mutu pendidikan ditentukan oleh berbagai komponen, yakni konteks, input, proses, out put dan feed back. Komponen-komponen tersebut secara sinergi menentukan mutu pendidikan (Bush and Bell, 2002: 16-17).  Di lain pihak teori nilai ekonomi pendidikan menjelaskan bahwa nilai ekonomi yang berfungsi sebagai administrasi, produksi psikologis, dan produksi ekonomi turut andil dalam menentukan mutu pendidikan (Alan Thomas dalam Zainuddin, 2008: 77). Demikian pula teori kepemimpinan juga menjelaskan bahwa manajer pendidikan menentukan efektivitas dan mutu pendidikan (Bolman and Deal dalam Bush and Bell, 2002: 29). Beberapa nukilan teori tersebut memberikan isyarat bahwa sekolah miskin berkaitan dengan mutu sekolah. Terjadinya sekolah miskin diduga amat berkaitan dengan sistem pendidikan, nilai ekonomi pendidikan, dan manajer pendidikan.
         Mengingat betapa pentingnya solusi mengatasi sekolah miskin, peneliti bermaksud mengkajinya secara empirik di provinsi Bengkulu. Permasalahan penelitian difokuskan kepada manajemen sekolah miskin. Hal itu dimaksudkan bahwa keberadaan sekolah miskin amat berkaitan dengan manajemen sekolah itu sendiri. Oleh karena itu terdapat beberapa sub masalah yang digagas dari penelitian ini yakni: (a) Bagaimanakah kondisi pada sekolah miskin? (b) Bagaimanakah manajemen sekolah yang diselenggarakannya? (c) Mengapa sekolah miskin bisa terjadi? (d) Bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk mengatasi kemiskinan tersebut? (e) Bagaimanakah model manajemen pendidikan yang diharapkan dapat mengatasi kemiskinan tersebut?
         Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena secara mendalam tentang manajemen sekolah miskin. Secara khusus penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan tentang: (a) kondisi pada sekolah miskin, (b) manajemen sekolah yang diselenggarakan, (c) penyebab terjadinya sekolah miskin, (d) upaya yang dilakukan untuk mengatasi sekolah miskin, dan  (e) model manajemen pendidikan yang diharapkan dapat mengatasi kemiskinan. Diharapkan melalui penelitian ini dapat bermanfaat baik secara teoritis mengungkapkan fenomena sekolah miskin maupun secara praktis dijadikan sebagai acuan mengatasi sekolah miskin.

B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dirancang dengan skema deskriptif evaluatif (Marshall dan Rossman, 2005 dan Staffebean dalam Sujana dan Ibrahim, 2007).  Hal didasarkan atas rasional untuk menilai kategori sekolah dan mendeskripsikan realitas konteks suatu sekolah miskin. Penelitian evaluasi yang digunakan mengacu kepada educational system evaluation model (model evaluasi sistem pendidikan) yang terdiri atas evaluasi CIPP (context, input, process, and product). Evaluasi dilakukan dengan membandingkan komponen dengan standar yang ditentukan. Beberapa komponen dijadikan fokus pendeskripsian untuk mengungkap makna fenomena sekolah miskin.
Subyek yang dijadikan sumber data yakni sekolah miskin. Sekolah miskin tersebut merupakan lembaga pendidikan formal yang tidak dapat memenuhi SPM pada jenjang TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA di di pesisir kota Bengkulu dan kabupaten Bengkulu Utara. Sasaran evaluasi terdiri atas: (a) Sumber Daya Manusia (Kepala Sekolah, Guru, Kepala Dinas Diknas, Pengawas, Staf Tata Usaha, Siswa, orang tua siswa, Pengelola Komite Sekolah, dan masyarakat sekitar); dan (b) kondisi kurikulum, peserta didik, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, peran serta masyarakat, dan manajemen sekolah.  
Pemilihan subyek penelitian ditentukan secara purposive (bertujuan). Hal ini dimaksudkan agar data dan informasi yang dievaluasi dan dapat digali lebih relevan dan mendalam (Marshall dan Rossman, 2005: 50). Lokasi penelitian didasarkan atas karakteristik yang representatif benar-benar mewakili subyek penelitian. Berdasarkan studi pendahuluan, maka lokasi penelitian ditentukan terdiri atas: (1) TK Sambela Kota Bengkulu, (2) SDN 26 Kota Bengkulu, (3) SMPN 17 Kota Bengkulu, (4) SMAM 1 Kota Bengkulu, (5) TK Model Kabupaten Bengkulu Utara, (6) MIN Talang Pauh Kabupaten Bengkulu Tengah, (7) SMP Kab Bengkulu Utara, dan (6) SMAN 2 Kerkap Kabupaten Bengkulu Utara.
Pengumpulan data dilakukan dengan teknik evaluatif melalui wawancara terstruktur, observasi  dan studi dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan dua cara. Data kuantitatif dianalisis dengan perhitungan rata-rata nilai (weighted mean score), persentase, dan mencocokkan kepada suatu standard. Data kualitatif dianalisis secara induktif ala Miles dan Huberman (2007) yang terdiri atas empat tahap yakni: (1) pengumpulan data secara mendalam sesuai dengan panduan, (2) reduksi data melalui penyederhanaan, pengabstrakan, pengkodean, perumusan tema dan pola, (3) penyajian data berupa pemfokusan dan spesifikasi hasil yang selanjutnya dibuat laporan secara naratif/deskkriptif, dan (4) simpulan dari pencermatan terhadap penyajian data dan dilakukan verifikasi melalui “inter subyective consesus”. Keempat langkah tersebut dilakukan secara sirkuler dan terus-menerus sehingga rumusan permasalahannya dapat dijawab secara bermakna.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
1. Hasil Penelitian
a. Kondisi Sekolah Miskin. 
Sekolah miskin pada umumnya terdiri atas tiga pola, yakni: (1) kurang standar, (2) kurang standar sekali, dan (3) sangat kurang standar sekali. Standar ideal suatu sekolah boleh menyelenggarakan pendidikan, jika memenuhi minimal 90% dari ketentuan layanan minimal pada komponen kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, manajemen, dan peran serta masyarakat terhadap sekolah. Pemetaan pola didasarkan atas keterpenuhan standar tersebut yang memiliki rincian standar masing-masing aspek.  Pola pertama, sekolah miskin kurang standar merupakan ketidakmampuan sekolah memenuhi standar berkisar antara 70-89%. Pola kedua, sekolah miskin kurang standar sekali yang hanya mampu memenuhi standar antara 40-69%. Pola ketiga, sekolah miskin sangat kurang standar sekali yang hanya mampu memenuhi kurang dari 40%.
            Kondisi kekurangstandaran pada komponen utama penyelenggaraan sekolah miskin dapat digambarkan secara ringkas sebagai berikut. Kekurangmampuan memenuhi persyaratan minimal pada komponen kurikulum misalnya sekolah belum mengimplementasikan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang dirancang secara mandiri; belum melengkapi perangkat pembelajaran seperti silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, menyusun bahan ajar, rancangan penugasan dan evaluasi; analisis evaluasi dan tindak lanjutnya; dan daya serap siswa terhadap pembelajaran kurang dari 75%.  
            Pada komponen kesiswaan sekolah miskin umumnya kurang mampu meningkatkan angka partisipasi masuk ke sekolah tersebut; angka pendaftaran tidak naik secara signifikan; angka putus sekolah bertambah setiap tahunnya; angka mengulang tidak turun, kelulusan ujian sekolah/nasional kurang dari 90%; dan pembinaan kesiswaan tidak ada. Kondisi pada komponen ketenagaan sekolah miskin ditandai dengan kinerja kepala sekolah yang kurang mampu menjalankan tupoksi di atas 90%; kondisi guru yang kurang mampu memenuhi kualifikasi di atas 90%; dan rasio guru siswa di atas 1:20.
            Sarana dan prasarana pada sekolah miskin ditandai dengan lahan sekolah yang kurang representatif; tidak terdapat ruang kantor kepala sekolah dan guru yang representatif;  ruang belajar yang kurang mencukupi; kondisi ruang belajar yang tidak kondusif; ruang, media dan pelataran pembelajaran yang kurang mencukupi; buku teks: siswa kurang dari standar rasio = 1: 1; dan sarana olah raga yang kurang mencukupi.
   Kondisi organisasi pada sekolah miskin ditandai oleh ketidak adaan struktur sekolah, deskripsi tugas personil tidak ada, tidak dituliskan visi, misi, tujuan, dan program sekolah. Pada komponen pembiayaan sekolah miskin ditandai dengan penyediaan anggaran yang diberikan dari pemerintah kurang memenuhi kebutuhan sekolah, dana dari swadaya tidak ada dan sekiranya ada kurang mencukupi, dan tidak memiliki unit produksi yang mampu menghasilkan masukan dukungan sekolah (incame generating). Pada komponen manajemen, sekolah miskin umumnya tidak mampu menggerakkan guru hadir di kelas di atas 90%, demikian pula dengan staf yang banyak mangkir dan kurang memenuhi standar kehadiran di atas 90%; tertib administrasi tidak dilaksanakan di atas 90%, kinerja sekolah kurang dari 90%. Pada komponen peran serta masyarat, sekolah miskin kurang memperoleh dukungan komite di atas 90%, dukungan  orang tua kurang dari 90%, peran tokoh masyarakat kurang dari 90%; dan peran dunia usaha tidak ada.

b. Manajemen Sekolah Miskin
Manajemen sekolah miskin memiliki keunikan tersendiri. Hal itu dimulai dengan kekurangmampuan kepala sekolah menggerakkan tenaga guru dan staf dalam mencapai tujuan sekolah. Kepala sekolah hanya sekedar menjalankan rutinitas, datang lebih awal, duduk di kantor, menerima laporan dari guru dan staf, melayani permintaan, dan pulang sesuai dengan waktu yang ditentukan. Kepala sekolah kurang memiliki ide-ide inovasi sebagai terobosan bagaimana memenuhi standar layanan minimal sekolah. Selain hal tersebut pengangkatan kepala sekolah yang kurang memenuhi kualifikasi kompetensi manajerial dan akademik, juga memberikan kontribusi bagi kekurangstandaran manajemen.
            Pengetahuan kepala sekolah terhadap bidang manajemen amat kurang. Misalnya apa yang harus dilakukan seorang kepala sekolah dalam manajemen, umumnya hanya dijawab seadanya saja. Amat jauh dari jawaban bahwa kepala sekolah harus menjalankan fungsi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, supervisi dan evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjutnya. Demikian pula pengetahuan tentang bidang manjemen apa saja yang harus dilakukan, juga kurang memuaskan. Mereka umumnya kurang mampu menunjukkan bahwa manajemen sekolah, sekurang-kurangnya harus memenuhi standar garapan manajemen kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, pembiayaan, dan hubungan masyarakat.
            Kepemimpinan kepala sekolah pada sekolah miskin umumnya kurang berfungsi sesuai dengan standar yang ditentukan. Misalnya kurang memenuhi prinsip “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani”. Kepemimpinan seolah buta apa yang harus dilakukan tidak diketahui secara pasti, kurang memiliki arah, konsep, strategi, dan program. Kepemimpinan dioperasionalkan dalam bentuk hadir di sekolah,  memiliki wewenang instruktif terhadap bawahan, memiliki wewenang menegur, mengevaluasi, memarahi, dan memberi sanksi bawahan. Konsep keteladanan amat kurang, bergaul dengan guru amat kurang, dan memberikan dorongan juga amat kurang. Komunikasi dengan bawahan kurang harmonis dan tetap menjaga jarak “saya kepala sekolah dan kamu bawahan saya”, tidak digalang partisipasi guru/staf. Pengambilan keputusan dilakukan secara sendiri agar cepat dan memiliki risiko tersendiri pula. Prinsip-prinsip manajemen seperti demokratis, partisipatif, keterbukaan, efisien dan efektif, produktivitas, memenuhi asas hukum; hampir kurang diketahui oleh kepala sekolah.

c. Penyebab Terjadinya Sekolah Miskin     
Terdapat beberapa faktor yang menjadi sebab sekolah miskin. Faktor tersebut antara lain: (1) konteks sekolah, (2) input sekolah, (3) kepedulian pemerintah, (4) kepemimpinan sekolah, (5) partisipasi guru, (6) partisipasi masyarakat, dan (7) kegiatan pembelajaran.
Faktor konteks sekolah menyangkut keberadaan lokasi dan sumber daya yang mempengaruhi potensi sekolah. Faktor tersebut antara lain keberadaan lokasi sekolah, kondisi sosial ekonomi orangtua dan masyarakat, kepedulian masyarakat dan pemerintah. Sekolah miskin umumnya berada di wilayah pedesaan, pedalaman, pesisir, atau pinggiran kota. Kondisi ini amat terkait dengan status sosial ekonomi masyarakat yang kurang utamanya orang tua. Masyarat yang berada di pedesaan, pedalaman, pesisir, atau pinggiran kota umumnya terdiri atas golongan orang yang kurang mampu secara finansial. Kondisi ini amat mempengaruhi kepedulian mereka terhadap sekolah anak-anaknya. Orang tua yang berpenghasilan di bawah Rp. 1.200.000,- perbulan habis untuk membiayai kehidupan keluarganya yang berjumlah empat orang. Orang tua cenderung lebih mementingkan memenuhi kebutuhan hidup (makan minum dan rumah) daripada untuk menyekolahkan anaknya di bangku sekolah. Oleh karena itu program pemerintah yang memberikan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) cukup membantu orang tua menyekolahkan anaknya di bangku sekolah.
            Input sekolah yang kurang menjadi penyebab sekolah miskin. Input menyangkut kurangnya masukan tenaga pengelola sekolah (kualifikasi, ketercukupan, dan mutu kepala sekolah, guru, staf pendukung), masukan siswa (kemampuan, prestasi, dan daya dukung siswa dan orang tuanya), sumber daya sekolah (kualifikasi, ketercukupan, dan mutu sarana dan prasarana sekolah dan pembelajaran), pembiayaan sekolah (jumlah dana yang diterima sekolah dan tunjangan kesejahteraan staf pengelola sekolah). Faktor input ini amat signifikan mempengaruhi kemampuan sekolah dalam berkiprah/berusaha mewujudkan tujuan yang diinginkan sekolah.
            Kepedulian pemerintah yang kurang berpihak secara operasional utamanya pemerintah daerah (wali kota dan bupati) dan kepala dinas Diknas menjadi penyebab terjadinya sekolah miskin. Pemerintah daerah yang hanya tebar pesona, mengumbar janji-janji akan memberikan bantuan saat membuka acara kegiatan, dan tidak pernah melakukan kunjungan ke sekolah miskin; juga menjadi penyebab terjadinya sekolah miskin. Demikian pula pihak Dinas Diknas yang kurang membantu mencukupi kebutuhan sekolah juga menjadi penyebab kekurangmampuan sekolah dalam memenuhi sumber daya yang ada.
            Kepemipinan kepala sekolah yang kurang kreatif dan inovatif juga menjadi penyebab terjadinya sekolah miskin. Kepala sekolah umumnya kurang kreatif melakukan prakarsa bagaimana memenuhi kekurangstandaran sekolah, baik dalam komponen kurikulum, personalia, kesiswaan, sarana dan prasarana, pembiayaan, manajemen, organisasi, dan humas. Namun terdapat kepala sekolah yang kreatif tetapi kurang memperolah dukungan dari warga sekolah, menjadikan surutnya usaha kepala sekolah. Partisipasi guru dan orang tua siswa umumnya dibangun dari kepemimpinan kepala sekolah. Kalau kepala sekolah kurang kreatif mempartisipasikan guru dan orang tua, maka merekapun enggan melakukan kegiatan positif untuk mencukupi kebutuhan sekolah.
            Kegiatan pembelajaran yang kurang standar menjadikan sekolah menjadi miskin. Seperti guru kurang melengkapi perangkat pembelajaran (RPP, bahan ajar, skenario pembelajaran, rancangan penugasan dan evaluasi, LKS). Demikian pula aplikasi guru  dalam pembelajaran, seperti mengajar kurang tepat waktu mulai maupun usai, kurang mempedulikan pemahaman dan daya serap siswa, cenderung rutin dan menunggu waktu berakhir, sering membolos, mengajar terlalu monoton dan kurang bervariasi dalam metode, kurang kreatif memperbaiki pembelajaran melalui penelitian tindakan kelas, kurang banyak melakukan analisis hasil pembelajaran, dan kurangnya supervisi kelas dan pembelajaran baik oleh kepala sekolah maupun penilik/pengawas sekolah.       

d. Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Kemiskinan
Sekolah yang termasuk kategori miskin seluruhnya memiliki usaha untuk memperbaiki dan memenuhi standar layanan minimal sekolah. Usaha yang dilakukan terbatas sesuai dengan kemampuan. Jika tidak ada biaya yang penting melakukan pembelajaran sebaik-baiknya dan tidak membiarkan kelas kosong serta pulang cepat. Orientasi utama adalah menyelamatkan kegiatan pembelajaran dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Jika sekolah diberikan dana oleh pemerintah untuk melengkapi sarana dan prasarana, maka uang tersebut digunakan dengan sangat hati-hati agar tidak masuk penjara. Meski dalam proses pemberian tersebut sedikit ada kendala, seperti ada perjanjian fee dan pemberian hadiah lainya.
            Sangat sedikit sekali kepala sekolah dan guru berupaya untuk memenuhi kekurangstandaran layanan minimal sekolah. Bagaimana hal itu bisa terpenuhi, sementara kepala sekolah dan guru tersebut tidak menyadari, tidak memiliki pembanding, dan kurang wawasan dalam penyelenggaraan sekolah.

e. Model Manajemen Pendidikan yang Diharapkan Dapat Mengatasi Kemiskinan
Banyak kepala sekolah menginginkan agar sekolahnya tidak termasuk kategori miskin. Meski hal itu amat sulit mengupayakan mengatasi kekurangstandaran layanan minimal sekolah, namun kepala sekolah, guru, siswa dan orang tua siswa menginginkan agar sekolah menjadi maju dan dapat bersaing dengan sekolah yang lainnya. Ketika ditanya bagaimana sesungguhnya model manajemen sekolah untuk mengatasi kemiskinan, umumnya menjawab tanpa konsep dan struktur yang jelas. Mereka hanya menjalankan tugas dan peran rutinnya sebagai kepala sekolah. Ditanya soal usaha pun juga kurang memiliki target-target yang jelas, bagaimana target satu atau dua tahun mendatang. Demikian pula dengan guru-guru, mereka umumnya hanya menjalankan tugas rutinnya sebagai pengajar yang loyal kepada tugas.
            Ketika ditawarkan kepada para kepala sekolah tentang alternatif model manajemen sekolah yang mampu mengatasi kekurangstandaran layanan, mereka umumnya memilih model manajemen pendidikan berbasis solusi dan partisipasi. Tentu saja pilihan tersebut dipilih setelah disodorkan penjelasan dan ringkasan dari masing-masing model,  plus dan minus jika diterapkan. Kondisi ini diberikan karena mengingat mereka kurang inisiatif dalam menemukan model.
            Secara ringkas model tersebut sebagai berikut. Model Manajemen Pendidikan Berbasis Solusi (MPBS) merupakan proses merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan sekolah yang didasarkan kepada upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi sekolah (ketidak terpenuhan SPM). Tujuan model ini yaitu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi (memenuhi SPM) sekolah. Manfaatnya yaitu: (1) SPM sekolah dapat terpenuhi, (2) sekolah memiliki potensi untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (3) sekolah mampu bersaing bersaing. Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut: (1) perencanaan: analisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi, serta perumusan program pengatasan masalah ketidakterpenuhan SPM; (2) pengorganisasian: pendistribusian tupoksi operasionalisasi program, pematangan pelaksanaan, dan penyediaan fasilitas pendukung; (3) pelaksanaan program: menerapkan pengatasan masalah (ketidakterpenuhan SPM) & pemberdayaan stakeholders secara optimal; (4) monev program: pengumpulan data/informasi tentang program yang sedang dan akhir; (5) refleksi dan modifikasi: analisis monev, perbaikan dan peningkatan program berikutnya. Prinsip penerapan: (1) orientasi kepada pengatasan masalah (memenuhi SPM); (2) pemberdayaan stakeholders secara sinergi; (3) stakeholders memiliki tanggung jawab dan komitmen untuk mengatasi masalah sesuai dengan distribusi tugas; (4) edukatif dan jaminan mutu; (5) mandiri dalam kemitraan, partisipasi demokratis, terbuka, akuntabilitas, efektif dan efisien, produktif, sustainabilitas. Sistem evaluasi menggunakan prosedur: awal (kondisi awal) dan akhir (kondiri akhir), jenisnya wawancara, pengamatan, studi dokumentasi, dan indikator keberhasilan: keterpenuhan SPM memperoleh nilai minimal 90.

2. Pembahasan
Manajemen sekolah miskin menunjukkan kekurangmampuan mengelola organisasi secara efektif. Kepala sekolah kurang mampu menggerakkan tenaga guru dan staf dalam mencapai tujuan sekolah. Kepala sekolah hanya sekedar menjalankan rutinitas, datang lebih awal, duduk di kantor, menerima laporan dari guru dan staf, melayani permintaan, dan pulang sesuai dengan waktu yang ditentukan. Kepala sekolah kurang memiliki ide-ide inovasi sebagai terobosan bagaimana memenuhi standar layanan minimal sekolah. Selain hal tersebut pengangkatan kepala sekolah yang kurang memenuhi kualifikasi kompetensi manajerial dan akademik turut memberikan andil terhadap kondisi sekolah.
Manajemen sekolah yang baik salah satunya ditentukan oleh pengetahuan kepala sekolah tentang hal tersebut (Gramage, 2008: 3). Hasil penelitian yang menunjukkan pengetahuan kepala sekolah terhadap bidang manajemen amat kurang akan memberikan kontribusi yang positif terhadap sekolah miskin. Misalnya pengetahuan fungsi manajemen seperti   perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, supervisi dan evaluasi, pelaporan, dan tindak lanjutnya kurang memahami secara maksimal. Demikian pula pengetahuan tentang bidang manjemen yang harus dilakukan, seperti bidang garapan manajemen kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, pembiayaan, dan hubungan masyarakat.
Sesungguhnya mutu pendidikan dari suatu sekolah tergantung dari praktik manajemen pendidikan di sekolah tersebut (Bush and Bell, 2002: 17). Penyelenggaraan sekolah yang mengelola bidang kurikulum, personalia, kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana, dan hubungan masyarakat turut menentukan mutu sekolah (Sasongko, 2008: 7- 9). Manajemen pendidikan yang dikelola dengan memenuhi standar yang baik, maka akan menghasilkan mutu sekolah yang baik pula. Kondisi ini dapat diwujudkan bila manajer pendidikan di sekolah tersebut yakni kepala sekolah memiliki visi dan inovasi ke arah peningkatan mutu sekolah. Tanpa visi dan inovasi, sekolah kurang mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi perbaikan mutu pendidikan. Demikian pula sebaliknya, manajer sekolah yang kurang memiliki visi dan inovasi akan memberikan dampak terhadap pembentukan sekolah miskin.
Telah ditemukan bahwa sekolah miskin terdiri atas tiga pola, yakni: (1) kurang standar, (2) kurang standar sekali, dan (3) sangat kurang standar sekali. Standar ideal suatu sekolah boleh menyelenggarakan pendidikan, jika memenuhi minimal 90% dari ketentuan layanan minimal pada komponen kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, manajemen, dan peran serta masyarakat terhadap sekolah. Pemetaan pola didasarkan atas keterpenuhan standar tersebut yang memiliki rincian standar masing-masing aspek.  Pola pertama, sekolah miskin kurang standar merupakan ketidakmampuan sekolah memenuhi standar berkisar antara 70-89%. Pola kedua, sekolah miskin kurang standar sekali yang hanya mampu memenuhi standar antara 40-69%. Pola ketiga, sekolah miskin sangat kurang standar sekali yang hanya mampu memenuhi kurang dari 40%. Penyebab terjadinya sekolah miskin tersebut dipengaruhi oleh tujuh faktor, yakni: (1) konteks sekolah, (2) input sekolah, (3) kepedulian pemerintah, (4) kepemimpinan sekolah, (5) partisipasi guru, (6) partisipasi masyarakat, dan (7) kegiatan pembelajaran.
Gambaran nyata di sekolah tersebut memberikan implikasi bahwa sekolah miskin memiliki keunikan tersendiri. Kondisi tersebut terkait dengan teori manajemen pendidikan yang sesungguhnya juga berkaitan dengan terbentuknya sekolah miskin. Misalnya teori sistem dalam manajemen pendidikan menjelaskan bahwa mutu pendidikan ditentukan oleh berbagai komponen, yakni konteks, input, proses, out put dan feed back. Komponen-komponen tersebut secara sinergi menentukan mutu pendidikan (Bush and Bell, 2002: 16-17).  Di lain pihak teori nilai ekonomi pendidikan menjelaskan bahwa nilai ekonomi yang berfungsi sebagai administrasi, produksi psikologis, dan produksi ekonomi turut andil dalam menentukan mutu pendidikan (Alan Thomas dalam Zainuddin, 2008: 77). Demikian pula teori kepemimpinan juga menjelaskan bahwa manajer pendidikan menentukan efektivitas dan mutu pendidikan (Bolman and Deal dalam Bush and Bell, 2002: 29). Beberapa nukilan teori tersebut memberikan isyarat bahwa sekolah miskin berkaitan dengan mutu sekolah. Terjadinya sekolah miskin diduga amat berkaitan dengan sistem pendidikan, nilai ekonomi pendidikan, dan manajer pendidikan.
Meski terdapat upaya sekolah untuk mengatasi kekurangstandaran, namun hal itu kurang berarti jika tanpa dukungan sumber daya yang memadai. Oleh karena itu model manajemen sekolah yang efektif diterapkan disini yaitu manajemen sekolah berbasis solusi. Model ini merupakan proses merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan sekolah yang didasarkan kepada upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi sekolah (ketidak terpenuhan SPM). Tujuan model ini yaitu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi (memenuhi SPM) sekolah. Manfaatnya yaitu: (1) SPM sekolah dapat terpenuhi, (2) sekolah memiliki potensi untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (3) sekolah mampu bersaing bersaing. Model yang mengacu kepada keunikan sekolah memiliki fisibilitas dalam penerapan dan memungkinkan efektif untuk mengatasi masalah (Zainudin, 2008: 76).

D. SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Sekolah miskin terdiri atas tiga pola, yakni: (1) kurang standar, (2) kurang standar sekali, dan (3) sangat kurang standar sekali. Ketiga pola tersebut mengacu kepada keterpenuhan minimal 90% dari ketentuan layanan minimal pada komponen kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, manajemen, dan peran serta masyarakat terhadap sekolah. Pola pertama, sekolah miskin kurang standar merupakan ketidakmampuan sekolah memenuhi standar berkisar antara 70-89%. Pola kedua, sekolah miskin kurang standar sekali yang hanya mampu memenuhi standar antara 40-69%. Pola ketiga, sekolah miskin sangat kurang standar sekali yang hanya mampu memenuhi kurang dari 40%.
Manajemen sekolah miskin memiliki keunikan tersendiri. Konsep manajemen sekolah kurang dipahami secara optimal. Kepemiminan dioperasionalkan dalam bentuk hadir di sekolah,  memiliki wewenang instruktif terhadap bawahan, memiliki wewenang menegur, mengevaluasi, memarahi, dan memberi sanksi bawahan.  Komunikasi dengan bawahan kurang harmonis dan tetap menjaga jarak “saya kepala sekolah dan kamu bawahan saya”, tidak digalang partisipasi guru/staf. Pengambilan keputusan dilakukan secara sendiri agar cepat dan memiliki risiko tersendiri pula. Prinsip-prinsip manajemen seperti demokratis, partisipatif, keterbukaan, efisien dan efektif, produktivitas, memenuhi asas hukum; hampir kurang diketahui oleh kepala sekolah.
Faktor penyebab terjadinya sekolah miskin amat kompleks. Umumnya sekolah miskin ditentukan oleh kekurangan: (1) konteks sekolah, (2) input sekolah, (3) kepedulian pemerintah, (4) kepemimpinan sekolah, (5) partisipasi guru, (6) partisipasi masyarakat, dan (7) kegiatan pembelajaran.
Kepala sekolah dan guru umumnya telah berupaya untuk memenuhi kekurangstandaran layanan minimal sekolah. Namun hanya terbatas kepada layanan eduktif yang rutin. Kondisi ini amat sulit untuk memenuhi standar layanan minimal suatu sekolah, sementara kepala sekolah dan guru tersebut tidak menyadari, tidak memiliki pembanding, dan kurang wawasan dalam penyelenggaraan sekolah yang baik.
Model yang diharapkan dapat mengatasi sekolah miskin yakni manajemen sekolah yang mampu mengatasi kekurangstandaran layanan minimal sekolah. Model manajemen sekolah yang efektif yaitu manajemen sekolah berbasis solusi. Model ini merupakan proses merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan sekolah yang didasarkan kepada upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi sekolah (ketidak terpenuhan SPM). Tujuan model ini yaitu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi (memenuhi SPM) sekolah. Manfaatnya yaitu: (1) SPM sekolah dapat terpenuhi, (2) sekolah memiliki potensi untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (3) sekolah mampu bersaing bersaing. 

2. Saran
Sekolah miskin memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut perlu diatasi sesuai dengan karakteristik sekolah. Namun upaya cerdas untuk mengatasinya yaitu melalui memenuhi minimal 90% dari ketentuan layanan minimal pada komponen kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, manajemen, dan peran serta masyarakat terhadap sekolah. Selain hal tersebut pengetahuan kepala sekolah dan guru tentang manajemen sekolah dan kelas yang standar hendaknya dikuasai sehingga mampu mengoptimalisasikan dalam penerapan di sekolah. 
Faktor penyebab terjadinya sekolah miskin yang terdiri atas kekurangdukungan (1) konteks sekolah, (2) input sekolah, (3) kepedulian pemerintah, (4) kepemimpinan sekolah, (5) partisipasi guru, (6) partisipasi masyarakat, dan (7) kegiatan pembelajaran; perlu diatasi. Disarankan kepada kepala sekolah untuk menerapkan model manajemen sekolah berbasis solusi yang sesuai dengan karakteristik sekolah tersebut.   

DAFTAR PUSTAKA

Aprianti, Yenti. 2008. Pendidikan Sekolah Miskin, Gratis Segala-galanya. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0708/13/Jabar/25207.htm
BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). 2007a. Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta
BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). 2007c. Standar Sarana dan Prasarana Untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Jakarta
Bush, Tony and Bell, Les. 2002. The Principles and Practice of Educational Management. London: Paul Chapman Publishing
Caldwell, Brian J. 2008. Principles and Practices in Resource Allocation to Schools under Conditions of Radical Decentralization. http://nces.ed.gov/surveys/databased/issues2.asp   
Gramage, David T. 2008. Three Decades of Implementation of School-Based Management in the Australian Capital Territory and Victoria in Australia. http://nces.ed.gov/surveys/databased/Ed34652312 
Marshall, Catherine and Rossman, Gretchen. 2005. Desgning Qualitative Research. London: Sage Publication
Miles, MS and Huberman, AM. 2007. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Method. http://www.ed.gov/databased/qualidata.Ed54673534
Rahmi, Ratu Ya. 2008. Kondisi Keterpenuhan Standar Penyelenggaraan TK dan Upaya untuk Memenuhinya. Bengkulu: Tesis S2 Prodi MMP Unib
Saiful. 2008. Kondisi Sarana dan Prasarana di SMA Kabupaten Bengkulu Utara. Bengkulu: Tesis S2 Prodi MMP Unib
Sasongko, Rambat Nur. 2008. Manajemen Pendidikan Pada Sekolah Unggul (Studi Deskriptif Kualitatif pada SMP Unggul di Kota Bengkulu). Bengkulu: Hasil Penelitian yang Tidak Diterbitkan pada Prodi MMP Unib
Sujana, Nana dan Ibrahim. 2007. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Susanti, Erfi. 2007. Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan di SD Provinsi Bengkulu. Bengkulu: Hasil Penelitian pada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Bengkulu
Zainuddin. 2008. Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar


[*] Penelitian dibiayai oleh Dana Penelitian Hibah Strategis Nasional Ditjen Dikti Depdiknas Berdasarkan SK Rektor No. 1760.a/H30/PL/2009 tanggal 11 Februari 2009.
40 komentar:

Tidak ada komentar :