MANAJEMEN SEKOLAH MISKIN
(http://rambatnur.blogspot.com)
MANAJEMEN SEKOLAH MISKIN
40 komentar:
(http://rambatnur.blogspot.com)
MANAJEMEN SEKOLAH MISKIN
(Studi Deskriptif Evaluatif di Berbagai Jenjang Sekolah Provinsi Bengkulu)[*]
Oleh:
Rambat Nur Sasongko (Dosen Pascasarjana Manajemen Pendidikan FKIP Unib)
Zakaria (Dosen Pascasarjana Manajemen Pendidikan FKIP Unib)dan
Syalendra (Guru SMKN 2 Kota Bengkulu)
ABSTRACT
The objective of this research is to describe management of poor school in Bengkulu Province. This research used qualitative descriptive method. Subject
research are principalships, teachers, and staffs at Kindergarten (TK),
Elementary School (SD), Junior High School (SMP), and Senior High
School (SMA) Bengkulu Province.
Data collecting by depth interviewing, observation, and documentation
study. Data analyze used inductive technique by interactive steps and
cycle: collecting data, reduction data, display data, conclution and
verification. The result of this research show that: (a) the condition
of poor school have not fulfilment to national standard qualification,
(b) school management to do routine and have not innovation, (c) have
several factor to influence poor schools, (d) the efforts to problems
solution has not significant products, and (e) the model of educational
management based problem solution is a hipotetic model as effective
implementation.
Key words: poor schools, management
A. PENDAHULUAN
Pengkajian
sekolah miskin belum populer. Oleh karena itu terminologi sekolah
miskin belum banyak digagas oleh berbagai pakar pendidikan. Selain belum
ada karya tulis ilmiah yang mengkaji konsep dan fenomena tersebut, juga
belum ada terminologi yang pasti untuk mengangkat perbaikan nasib
sekolah miskin. Penelusuran melalui internet ditemukan dalam karya
populer Aprianti (2008: 2) yang memberikan terminologi sekolah miskin
sebagai pendidikan yang membebaskan iuran dan pungutan segala-galanya
dari siswa. Demikian pula Malik (2008: 1) memberikan definisi sekolah
miskin merupakan pendidikan untuk anak-anak miskin.
Terminologi
sekolah miskin sesungguhnya tidak sempit hanya pada satu sisi kajian.
Namun sekolah miskin sesungguhnya mempunyai makna luas, yakni miskin
atau kekurangan dari standar baku penyelenggaraan sekolah. Sekolah
miskin disini didefinisikan sebagai ketidak mampuan sekolah mencukupi
standar pelayanan minimal penyelenggaraan sekolah yang telah ditetapkan
oleh pemerintah (Kepmendiknas No. 053/U/2001 tentang Standar Pelayanan
Minimal Penyelenggaraan TK, SD, SMP, SMA; PP No.19/2005 tentang Standar
Nasonal Pendidikan; dan Permendiknas No. 19/2007 tentang Standar
Pengelolaan Santuan Pendidikan).
Sesungguhnya
penyelenggaraan sekolah harus memenuhi SPM yang ditentukan oleh
pemerintah. SPM tersebut mengatur bidang kurikulum, peserta didik,
ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan, peran serta
masyarakat, dan manajemen sekolah (BSNP, 2007a, 2007b, dan 2007c). SPM
tidak hanya mengatur di SD/MI, namun juga TK/RA, SMP/MTs, dan SMA/MA.
Sebagai contoh penyelenggaraan sekolah dalam bidang kurikulum harus
menenuhi minimal: (a) ada kurikulum nasional (KTSP/KBK), (b) ada
kurikulum lokal, (c) 90% kurikulum dilaksanakan, dan (d) 75% daya serap
terhadap kurikulum. Jika sekolah tersebut telah memiliki dokumen
kurikulum nasional dan lokal yang telah dirumuskan, namun keterlaksanaan
kurikulum dan daya serap kurang hanya 70%; maka sekolah tersebut
termasuk kategori sekolah miskin dalam bidang kurikulum. Demikian pula
kajian terhadap bidang yang lain, juga harus memenuhi SPM bidang
tersebut. Dengan demikian indikator sekolah miskin yakni yang kurang
dari SPM dalam bidang kurikulum, peserta didik, ketenagaan, sarana dan
prasarana, organisasi, pembiayaan, peran serta masyarakat, dan manajemen
sekolah.
Data yang mengungkap tentang keterpenuhan Standar Pelayanan Minimal
(SMP) Penyelenggaraan Sekolah di provinsi Bengkulu secara komprehensif
belum ada. Hal itu telah ditelusuri di Dinas Diknas, baik pada tingkat
provinsi maupun kota/kabupaten. Namun hasil penelitian yang dilakukan
Susanti (2007: 67-72) menunjukkan bahwa SPM pada standar pendidik dan
tenaga kependidikan di SD di provinsi Bengkulu hanya terpenuhi 53% dan
SMP provinsi Bengkulu terpenuhi sebanyak 76%. Selanjutnya hasil
penelitian Saipul (2008: 83-84) tentang kondisi sarana dan prasarana di
SMA kabupaten Bengkulu Utara mendeskripsikan terpenuhi 68% dari SPM.
Penelitian Rahmi (2008: 75-77) tentang penyelenggaraan TK di Argamakmur
kabupaten Bengkulu Utara menunjukkan bahwa 86% guru TK belum memenuhi
kualifikasi, sarana dan prasarana tercukupi 52%, pembiayaan kurang
terpenuhi 78%, dan terdapat sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan sekolah. Sintesis beberapa penelitian tersebut
menunjukkan bahwa dampak ketidak terpenuhan menyebabkan sekolah kurang
bermutu (prestasi rendah), kurang mampu bersaing (jarang memenangkan
lomba), dan penyelenggaraan sekolah asal jalan. Kondisi tersebut
memberikan implikasi pada manajemen pendidikan. Selain penyelenggaraan
sekolah merupakan bidang garapan manajemen pendidikan, juga dampak dari
manajemen pendidikan yang kurang bermutu akan memberikan kontribusi pada
pembentukan sekolah miskin.
Sesungguhnya
mutu pendidikan dari suatu sekolah tergantung dari praktik manajemen
pendidikan di sekolah tersebut (Bush and Bell, 2002: 17).
Penyelenggaraan sekolah yang mengelola bidang kurikulum, personalia,
kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana, dan hubungan masyarakat turut
menentukan mutu sekolah (Sasongko, 2008: 7- 9). Manajemen pendidikan
yang dikelola dengan memenuhi standar yang baik, maka akan menghasilkan
mutu sekolah yang baik pula. Kondisi ini dapat diwujudkan bila manajer
pendidikan di sekolah tersebut yakni kepala sekolah memiliki visi dan
inovasi ke arah peningkatan mutu sekolah. Tanpa visi dan inovasi,
sekolah kurang mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi
perbaikan mutu pendidikan. Demikian pula sebaliknya, manajer sekolah
yang kurang memiliki visi dan inovasi akan memberikan dampak terhadap
pembentukan sekolah miskin.
Teori
tentang sekolah miskin hampir tidak dijumpai. Namun teori manajemen
pendidikan terbentang amat banyak. Teori manajemen pendidikan
sesungguhnya juga berkaitan dengan fenomena sekolah miskin. Misalnya
teori sistem dalam manajemen pendidikan menjelaskan bahwa mutu
pendidikan ditentukan oleh berbagai komponen, yakni konteks, input, proses, out put dan feed back.
Komponen-komponen tersebut secara sinergi menentukan mutu pendidikan
(Bush and Bell, 2002: 16-17). Di lain pihak teori nilai ekonomi
pendidikan menjelaskan bahwa nilai ekonomi yang berfungsi sebagai
administrasi, produksi psikologis, dan produksi ekonomi turut andil
dalam menentukan mutu pendidikan (Alan Thomas dalam Zainuddin, 2008:
77). Demikian pula teori kepemimpinan juga menjelaskan bahwa manajer
pendidikan menentukan efektivitas dan mutu pendidikan (Bolman and Deal
dalam Bush and Bell, 2002: 29). Beberapa nukilan teori tersebut
memberikan isyarat bahwa sekolah miskin berkaitan dengan mutu sekolah.
Terjadinya sekolah miskin diduga amat berkaitan dengan sistem
pendidikan, nilai ekonomi pendidikan, dan manajer pendidikan.
Mengingat betapa pentingnya solusi mengatasi sekolah miskin, peneliti
bermaksud mengkajinya secara empirik di provinsi Bengkulu. Permasalahan
penelitian difokuskan kepada manajemen sekolah miskin. Hal itu
dimaksudkan bahwa keberadaan sekolah miskin amat berkaitan dengan
manajemen sekolah itu sendiri. Oleh karena itu terdapat beberapa sub
masalah yang digagas dari penelitian ini yakni: (a)
Bagaimanakah kondisi pada sekolah miskin? (b) Bagaimanakah manajemen
sekolah yang diselenggarakannya? (c) Mengapa sekolah miskin bisa
terjadi? (d) Bagaimanakah upaya yang dilakukan untuk mengatasi
kemiskinan tersebut? (e) Bagaimanakah model manajemen pendidikan yang
diharapkan dapat mengatasi kemiskinan tersebut?
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan fenomena secara mendalam
tentang manajemen sekolah miskin. Secara khusus penelitian ini
ditujukan untuk mendeskripsikan tentang: (a) kondisi pada sekolah
miskin, (b) manajemen sekolah yang diselenggarakan, (c) penyebab
terjadinya sekolah miskin, (d) upaya yang dilakukan untuk mengatasi
sekolah miskin, dan (e) model manajemen pendidikan yang diharapkan
dapat mengatasi kemiskinan. Diharapkan melalui penelitian ini dapat
bermanfaat baik secara teoritis mengungkapkan fenomena sekolah miskin
maupun secara praktis dijadikan sebagai acuan mengatasi sekolah miskin.
B. METODE PENELITIAN
Penelitian ini dirancang dengan skema deskriptif evaluatif
(Marshall dan Rossman, 2005 dan Staffebean dalam Sujana dan Ibrahim,
2007). Hal didasarkan atas rasional untuk menilai kategori sekolah dan
mendeskripsikan realitas konteks suatu sekolah miskin. Penelitian
evaluasi yang digunakan mengacu kepada educational system evaluation model (model evaluasi sistem pendidikan) yang terdiri atas evaluasi CIPP (context, input, process, and product).
Evaluasi dilakukan dengan membandingkan komponen dengan standar yang
ditentukan. Beberapa komponen dijadikan fokus pendeskripsian untuk
mengungkap makna fenomena sekolah miskin.
Subyek yang dijadikan sumber data yakni sekolah miskin. Sekolah
miskin tersebut merupakan lembaga pendidikan formal yang tidak dapat
memenuhi SPM pada jenjang TK/RA, SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA di di pesisir
kota Bengkulu dan kabupaten Bengkulu Utara. Sasaran evaluasi terdiri
atas: (a) Sumber Daya Manusia (Kepala Sekolah, Guru, Kepala Dinas
Diknas, Pengawas, Staf Tata Usaha, Siswa, orang tua siswa, Pengelola
Komite Sekolah, dan masyarakat sekitar); dan (b) kondisi kurikulum,
peserta didik, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan,
peran serta masyarakat, dan manajemen sekolah.
Pemilihan subyek penelitian ditentukan secara purposive
(bertujuan). Hal ini dimaksudkan agar data dan informasi yang
dievaluasi dan dapat digali lebih relevan dan mendalam (Marshall dan
Rossman, 2005: 50). Lokasi penelitian didasarkan atas karakteristik yang
representatif benar-benar mewakili subyek penelitian. Berdasarkan studi
pendahuluan, maka lokasi penelitian ditentukan terdiri atas: (1) TK
Sambela Kota Bengkulu, (2) SDN 26 Kota Bengkulu, (3) SMPN 17 Kota
Bengkulu, (4) SMAM 1 Kota Bengkulu, (5) TK Model Kabupaten Bengkulu
Utara, (6) MIN Talang Pauh Kabupaten Bengkulu Tengah, (7) SMP Kab
Bengkulu Utara, dan (6) SMAN 2 Kerkap Kabupaten Bengkulu Utara.
Pengumpulan
data dilakukan dengan teknik evaluatif melalui wawancara terstruktur,
observasi dan studi dokumentasi. Teknik analisis data dilakukan dengan
dua cara. Data kuantitatif dianalisis dengan perhitungan rata-rata nilai
(weighted mean score), persentase, dan mencocokkan kepada suatu
standard. Data kualitatif dianalisis secara induktif ala Miles dan
Huberman (2007) yang terdiri atas empat tahap yakni: (1) pengumpulan
data secara mendalam sesuai dengan panduan, (2) reduksi data melalui
penyederhanaan, pengabstrakan, pengkodean, perumusan tema dan pola, (3)
penyajian data berupa pemfokusan dan spesifikasi hasil yang selanjutnya
dibuat laporan secara naratif/deskkriptif, dan (4) simpulan dari
pencermatan terhadap penyajian data dan dilakukan verifikasi melalui “inter subyective consesus”. Keempat
langkah tersebut dilakukan secara sirkuler dan terus-menerus sehingga
rumusan permasalahannya dapat dijawab secara bermakna.
C. HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN
1. Hasil Penelitian
a. Kondisi Sekolah Miskin.
Sekolah
miskin pada umumnya terdiri atas tiga pola, yakni: (1) kurang standar,
(2) kurang standar sekali, dan (3) sangat kurang standar sekali. Standar
ideal suatu sekolah boleh menyelenggarakan pendidikan, jika memenuhi
minimal 90% dari ketentuan layanan minimal pada komponen kurikulum,
kesiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi, pembiayaan,
manajemen, dan peran serta masyarakat terhadap sekolah. Pemetaan pola
didasarkan atas keterpenuhan standar tersebut yang memiliki rincian
standar masing-masing aspek. Pola pertama, sekolah miskin kurang
standar merupakan ketidakmampuan sekolah memenuhi standar berkisar
antara 70-89%. Pola kedua, sekolah miskin kurang standar sekali yang
hanya mampu memenuhi standar antara 40-69%. Pola ketiga, sekolah miskin
sangat kurang standar sekali yang hanya mampu memenuhi kurang dari 40%.
Kondisi kekurangstandaran pada komponen utama penyelenggaraan
sekolah miskin dapat digambarkan secara ringkas sebagai berikut. Kekurangmampuan
memenuhi persyaratan minimal pada komponen kurikulum misalnya sekolah
belum mengimplementasikan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
yang dirancang secara mandiri; belum melengkapi perangkat pembelajaran
seperti silabus, rencana pelaksanaan pembelajaran, menyusun bahan ajar,
rancangan penugasan dan evaluasi; analisis evaluasi dan tindak
lanjutnya; dan daya serap siswa terhadap pembelajaran kurang dari 75%.
Pada komponen kesiswaan sekolah miskin umumnya kurang mampu
meningkatkan angka partisipasi masuk ke sekolah tersebut; angka
pendaftaran tidak naik secara signifikan; angka putus sekolah bertambah
setiap tahunnya; angka mengulang tidak turun, kelulusan ujian
sekolah/nasional kurang dari 90%; dan pembinaan kesiswaan tidak ada. Kondisi
pada komponen ketenagaan sekolah miskin ditandai dengan kinerja kepala
sekolah yang kurang mampu menjalankan tupoksi di atas 90%; kondisi guru
yang kurang mampu memenuhi kualifikasi di atas 90%; dan rasio guru siswa
di atas 1:20.
Sarana dan prasarana pada sekolah miskin ditandai dengan lahan
sekolah yang kurang representatif; tidak terdapat ruang kantor kepala
sekolah dan guru yang representatif; ruang belajar yang kurang
mencukupi; kondisi ruang belajar yang tidak kondusif; ruang, media dan
pelataran pembelajaran yang kurang mencukupi; buku teks: siswa kurang
dari standar rasio = 1: 1; dan sarana olah raga yang kurang mencukupi.
Kondisi organisasi pada sekolah miskin ditandai oleh ketidak adaan
struktur sekolah, deskripsi tugas personil tidak ada, tidak dituliskan
visi, misi, tujuan, dan program sekolah. Pada komponen pembiayaan
sekolah miskin ditandai dengan penyediaan anggaran yang diberikan dari
pemerintah kurang memenuhi kebutuhan sekolah, dana dari swadaya tidak
ada dan sekiranya ada kurang mencukupi, dan tidak memiliki unit produksi
yang mampu menghasilkan masukan dukungan sekolah (incame generating).
Pada komponen manajemen, sekolah miskin umumnya tidak mampu
menggerakkan guru hadir di kelas di atas 90%, demikian pula dengan staf
yang banyak mangkir dan kurang memenuhi standar kehadiran di atas 90%;
tertib administrasi tidak dilaksanakan di atas 90%, kinerja sekolah
kurang dari 90%. Pada komponen peran serta masyarat, sekolah miskin
kurang memperoleh dukungan komite di atas 90%, dukungan orang tua
kurang dari 90%, peran tokoh masyarakat kurang dari 90%; dan peran dunia
usaha tidak ada.
b. Manajemen Sekolah Miskin
Manajemen
sekolah miskin memiliki keunikan tersendiri. Hal itu dimulai dengan
kekurangmampuan kepala sekolah menggerakkan tenaga guru dan staf dalam
mencapai tujuan sekolah. Kepala sekolah hanya sekedar menjalankan
rutinitas, datang lebih awal, duduk di kantor, menerima laporan dari
guru dan staf, melayani permintaan, dan pulang sesuai dengan waktu yang
ditentukan. Kepala sekolah kurang memiliki ide-ide inovasi sebagai
terobosan bagaimana memenuhi standar layanan minimal sekolah. Selain hal
tersebut pengangkatan kepala sekolah yang kurang memenuhi kualifikasi
kompetensi manajerial dan akademik, juga memberikan kontribusi bagi
kekurangstandaran manajemen.
Pengetahuan kepala sekolah terhadap bidang manajemen amat
kurang. Misalnya apa yang harus dilakukan seorang kepala sekolah dalam
manajemen, umumnya hanya dijawab seadanya saja. Amat jauh dari jawaban
bahwa kepala sekolah harus menjalankan fungsi perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, supervisi dan evaluasi, pelaporan, dan
tindak lanjutnya. Demikian pula pengetahuan tentang bidang manjemen apa
saja yang harus dilakukan, juga kurang memuaskan. Mereka umumnya kurang
mampu menunjukkan bahwa manajemen sekolah, sekurang-kurangnya harus
memenuhi standar garapan manajemen kurikulum, kesiswaan, ketenagaan,
sarana dan prasarana, pembiayaan, dan hubungan masyarakat.
Kepemimpinan kepala sekolah pada sekolah miskin umumnya kurang
berfungsi sesuai dengan standar yang ditentukan. Misalnya kurang
memenuhi prinsip “ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut
wuri handayani”. Kepemimpinan seolah buta apa yang harus dilakukan tidak
diketahui secara pasti, kurang memiliki arah, konsep, strategi, dan
program. Kepemimpinan dioperasionalkan dalam bentuk hadir di sekolah,
memiliki wewenang instruktif terhadap bawahan, memiliki wewenang
menegur, mengevaluasi, memarahi, dan memberi sanksi bawahan. Konsep
keteladanan amat kurang, bergaul dengan guru amat kurang, dan memberikan
dorongan juga amat kurang. Komunikasi dengan bawahan kurang harmonis
dan tetap menjaga jarak “saya kepala sekolah dan kamu bawahan saya”,
tidak digalang partisipasi guru/staf. Pengambilan keputusan dilakukan
secara sendiri agar cepat dan memiliki risiko tersendiri pula.
Prinsip-prinsip manajemen seperti demokratis, partisipatif, keterbukaan,
efisien dan efektif, produktivitas, memenuhi asas hukum; hampir kurang
diketahui oleh kepala sekolah.
c. Penyebab Terjadinya Sekolah Miskin
Terdapat
beberapa faktor yang menjadi sebab sekolah miskin. Faktor tersebut
antara lain: (1) konteks sekolah, (2) input sekolah, (3) kepedulian
pemerintah, (4) kepemimpinan sekolah, (5) partisipasi guru, (6)
partisipasi masyarakat, dan (7) kegiatan pembelajaran.
Faktor
konteks sekolah menyangkut keberadaan lokasi dan sumber daya yang
mempengaruhi potensi sekolah. Faktor tersebut antara lain keberadaan
lokasi sekolah, kondisi sosial ekonomi orangtua dan masyarakat,
kepedulian masyarakat dan pemerintah. Sekolah miskin umumnya berada di
wilayah pedesaan, pedalaman, pesisir, atau pinggiran kota. Kondisi ini
amat terkait dengan status sosial ekonomi masyarakat yang kurang
utamanya orang tua. Masyarat yang berada di pedesaan, pedalaman,
pesisir, atau pinggiran kota umumnya terdiri atas golongan orang yang
kurang mampu secara finansial. Kondisi ini amat mempengaruhi kepedulian
mereka terhadap sekolah anak-anaknya. Orang tua yang berpenghasilan di
bawah Rp. 1.200.000,- perbulan habis untuk membiayai kehidupan
keluarganya yang berjumlah empat orang. Orang tua cenderung lebih
mementingkan memenuhi kebutuhan hidup (makan minum dan rumah) daripada
untuk menyekolahkan anaknya di bangku sekolah. Oleh karena itu program
pemerintah yang memberikan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) cukup
membantu orang tua menyekolahkan anaknya di bangku sekolah.
Input sekolah yang kurang menjadi penyebab sekolah miskin.
Input menyangkut kurangnya masukan tenaga pengelola sekolah
(kualifikasi, ketercukupan, dan mutu kepala sekolah, guru, staf
pendukung), masukan siswa (kemampuan, prestasi, dan daya dukung siswa
dan orang tuanya), sumber daya sekolah (kualifikasi, ketercukupan, dan
mutu sarana dan prasarana sekolah dan pembelajaran), pembiayaan sekolah
(jumlah dana yang diterima sekolah dan tunjangan kesejahteraan staf
pengelola sekolah). Faktor input ini amat signifikan mempengaruhi
kemampuan sekolah dalam berkiprah/berusaha mewujudkan tujuan yang
diinginkan sekolah.
Kepedulian pemerintah yang kurang berpihak secara operasional
utamanya pemerintah daerah (wali kota dan bupati) dan kepala dinas
Diknas menjadi penyebab terjadinya sekolah miskin. Pemerintah daerah
yang hanya tebar pesona, mengumbar janji-janji akan memberikan bantuan
saat membuka acara kegiatan, dan tidak pernah melakukan kunjungan ke
sekolah miskin; juga menjadi penyebab terjadinya sekolah miskin.
Demikian pula pihak Dinas Diknas yang kurang membantu mencukupi
kebutuhan sekolah juga menjadi penyebab kekurangmampuan sekolah dalam
memenuhi sumber daya yang ada.
Kepemipinan kepala sekolah yang kurang kreatif dan inovatif
juga menjadi penyebab terjadinya sekolah miskin. Kepala sekolah umumnya
kurang kreatif melakukan prakarsa bagaimana memenuhi kekurangstandaran
sekolah, baik dalam komponen kurikulum, personalia, kesiswaan, sarana
dan prasarana, pembiayaan, manajemen, organisasi, dan humas. Namun
terdapat kepala sekolah yang kreatif tetapi kurang memperolah dukungan
dari warga sekolah, menjadikan surutnya usaha kepala sekolah.
Partisipasi guru dan orang tua siswa umumnya dibangun dari kepemimpinan
kepala sekolah. Kalau kepala sekolah kurang kreatif mempartisipasikan
guru dan orang tua, maka merekapun enggan melakukan kegiatan positif
untuk mencukupi kebutuhan sekolah.
Kegiatan pembelajaran yang kurang standar menjadikan sekolah
menjadi miskin. Seperti guru kurang melengkapi perangkat pembelajaran
(RPP, bahan ajar, skenario pembelajaran, rancangan penugasan dan
evaluasi, LKS). Demikian pula aplikasi guru dalam pembelajaran, seperti
mengajar kurang tepat waktu mulai maupun usai, kurang mempedulikan
pemahaman dan daya serap siswa, cenderung rutin dan menunggu waktu
berakhir, sering membolos, mengajar terlalu monoton dan kurang
bervariasi dalam metode, kurang kreatif memperbaiki pembelajaran melalui
penelitian tindakan kelas, kurang banyak melakukan analisis hasil
pembelajaran, dan kurangnya supervisi kelas dan pembelajaran baik oleh
kepala sekolah maupun penilik/pengawas sekolah.
d. Upaya Yang Dilakukan Untuk Mengatasi Kemiskinan
Sekolah
yang termasuk kategori miskin seluruhnya memiliki usaha untuk
memperbaiki dan memenuhi standar layanan minimal sekolah. Usaha yang
dilakukan terbatas sesuai dengan kemampuan. Jika tidak ada biaya yang
penting melakukan pembelajaran sebaik-baiknya dan tidak membiarkan kelas
kosong serta pulang cepat. Orientasi utama adalah menyelamatkan
kegiatan pembelajaran dapat berlangsung sebagaimana mestinya. Jika
sekolah diberikan dana oleh pemerintah untuk melengkapi sarana dan
prasarana, maka uang tersebut digunakan dengan sangat hati-hati agar
tidak masuk penjara. Meski dalam proses pemberian tersebut sedikit ada
kendala, seperti ada perjanjian fee dan pemberian hadiah lainya.
Sangat sedikit sekali kepala sekolah dan guru berupaya untuk
memenuhi kekurangstandaran layanan minimal sekolah. Bagaimana hal itu
bisa terpenuhi, sementara kepala sekolah dan guru tersebut tidak
menyadari, tidak memiliki pembanding, dan kurang wawasan dalam
penyelenggaraan sekolah.
e. Model Manajemen Pendidikan yang Diharapkan Dapat Mengatasi Kemiskinan
Banyak
kepala sekolah menginginkan agar sekolahnya tidak termasuk kategori
miskin. Meski hal itu amat sulit mengupayakan mengatasi
kekurangstandaran layanan minimal sekolah, namun kepala sekolah, guru,
siswa dan orang tua siswa menginginkan agar sekolah menjadi maju dan
dapat bersaing dengan sekolah yang lainnya. Ketika ditanya bagaimana
sesungguhnya model manajemen sekolah untuk mengatasi kemiskinan, umumnya
menjawab tanpa konsep dan struktur yang jelas. Mereka hanya menjalankan
tugas dan peran rutinnya sebagai kepala sekolah. Ditanya soal usaha pun
juga kurang memiliki target-target yang jelas, bagaimana target satu
atau dua tahun mendatang. Demikian pula dengan guru-guru, mereka umumnya
hanya menjalankan tugas rutinnya sebagai pengajar yang loyal kepada
tugas.
Ketika ditawarkan kepada para kepala sekolah tentang
alternatif model manajemen sekolah yang mampu mengatasi
kekurangstandaran layanan, mereka umumnya memilih model manajemen
pendidikan berbasis solusi dan partisipasi. Tentu saja pilihan tersebut
dipilih setelah disodorkan penjelasan dan ringkasan dari masing-masing
model, plus dan minus jika diterapkan. Kondisi ini diberikan karena
mengingat mereka kurang inisiatif dalam menemukan model.
Secara ringkas model tersebut sebagai berikut. Model Manajemen
Pendidikan Berbasis Solusi (MPBS) merupakan proses merencanakan,
mengorganisasikan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan
sekolah yang didasarkan kepada upaya mengatasi permasalahan yang
dihadapi sekolah (ketidak terpenuhan SPM). Tujuan model ini yaitu untuk
mengatasi permasalahan yang dihadapi (memenuhi SPM) sekolah. Manfaatnya
yaitu: (1) SPM sekolah dapat terpenuhi, (2) sekolah memiliki potensi
untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (3) sekolah mampu bersaing
bersaing. Langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut: (1)
perencanaan: analisis kebutuhan dan permasalahan yang dihadapi, serta
perumusan program pengatasan masalah ketidakterpenuhan SPM; (2)
pengorganisasian: pendistribusian tupoksi operasionalisasi program,
pematangan pelaksanaan, dan penyediaan fasilitas pendukung; (3)
pelaksanaan program: menerapkan pengatasan masalah (ketidakterpenuhan
SPM) & pemberdayaan stakeholders secara optimal; (4) monev
program: pengumpulan data/informasi tentang program yang sedang dan
akhir; (5) refleksi dan modifikasi: analisis monev, perbaikan dan
peningkatan program berikutnya. Prinsip penerapan: (1) orientasi kepada
pengatasan masalah (memenuhi SPM); (2) pemberdayaan stakeholders secara sinergi; (3) stakeholders
memiliki tanggung jawab dan komitmen untuk mengatasi masalah sesuai
dengan distribusi tugas; (4) edukatif dan jaminan mutu; (5) mandiri
dalam kemitraan, partisipasi demokratis, terbuka, akuntabilitas, efektif
dan efisien, produktif, sustainabilitas. Sistem evaluasi menggunakan
prosedur: awal (kondisi awal) dan akhir (kondiri akhir), jenisnya
wawancara, pengamatan, studi dokumentasi, dan indikator keberhasilan:
keterpenuhan SPM memperoleh nilai minimal 90.
2. Pembahasan
Manajemen
sekolah miskin menunjukkan kekurangmampuan mengelola organisasi secara
efektif. Kepala sekolah kurang mampu menggerakkan tenaga guru dan staf
dalam mencapai tujuan sekolah. Kepala sekolah hanya sekedar menjalankan
rutinitas, datang lebih awal, duduk di kantor, menerima laporan dari
guru dan staf, melayani permintaan, dan pulang sesuai dengan waktu yang
ditentukan. Kepala sekolah kurang memiliki ide-ide inovasi sebagai
terobosan bagaimana memenuhi standar layanan minimal sekolah. Selain hal
tersebut pengangkatan kepala sekolah yang kurang memenuhi kualifikasi
kompetensi manajerial dan akademik turut memberikan andil terhadap
kondisi sekolah.
Manajemen
sekolah yang baik salah satunya ditentukan oleh pengetahuan kepala
sekolah tentang hal tersebut (Gramage, 2008: 3). Hasil penelitian yang
menunjukkan pengetahuan kepala sekolah terhadap bidang manajemen amat
kurang akan memberikan kontribusi yang positif terhadap sekolah miskin.
Misalnya pengetahuan fungsi manajemen seperti perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, supervisi dan evaluasi, pelaporan, dan
tindak lanjutnya kurang memahami secara maksimal. Demikian pula
pengetahuan tentang bidang manjemen yang harus dilakukan, seperti bidang
garapan manajemen kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan
prasarana, pembiayaan, dan hubungan masyarakat.
Sesungguhnya
mutu pendidikan dari suatu sekolah tergantung dari praktik manajemen
pendidikan di sekolah tersebut (Bush and Bell, 2002: 17).
Penyelenggaraan sekolah yang mengelola bidang kurikulum, personalia,
kesiswaan, keuangan, sarana dan prasarana, dan hubungan masyarakat turut
menentukan mutu sekolah (Sasongko, 2008: 7- 9). Manajemen pendidikan
yang dikelola dengan memenuhi standar yang baik, maka akan menghasilkan
mutu sekolah yang baik pula. Kondisi ini dapat diwujudkan bila manajer
pendidikan di sekolah tersebut yakni kepala sekolah memiliki visi dan
inovasi ke arah peningkatan mutu sekolah. Tanpa visi dan inovasi,
sekolah kurang mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi
perbaikan mutu pendidikan. Demikian pula sebaliknya, manajer sekolah
yang kurang memiliki visi dan inovasi akan memberikan dampak terhadap
pembentukan sekolah miskin.
Telah
ditemukan bahwa sekolah miskin terdiri atas tiga pola, yakni: (1)
kurang standar, (2) kurang standar sekali, dan (3) sangat kurang standar
sekali. Standar ideal suatu sekolah boleh menyelenggarakan pendidikan,
jika memenuhi minimal 90% dari ketentuan layanan minimal pada komponen
kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, organisasi,
pembiayaan, manajemen, dan peran serta masyarakat terhadap sekolah.
Pemetaan pola didasarkan atas keterpenuhan standar tersebut yang
memiliki rincian standar masing-masing aspek. Pola pertama, sekolah
miskin kurang standar merupakan ketidakmampuan sekolah memenuhi standar
berkisar antara 70-89%. Pola kedua, sekolah miskin kurang standar sekali
yang hanya mampu memenuhi standar antara 40-69%. Pola ketiga, sekolah
miskin sangat kurang standar sekali yang hanya mampu memenuhi kurang
dari 40%. Penyebab terjadinya sekolah miskin tersebut dipengaruhi oleh
tujuh faktor, yakni: (1) konteks sekolah, (2) input sekolah, (3)
kepedulian pemerintah, (4) kepemimpinan sekolah, (5) partisipasi guru,
(6) partisipasi masyarakat, dan (7) kegiatan pembelajaran.
Gambaran
nyata di sekolah tersebut memberikan implikasi bahwa sekolah miskin
memiliki keunikan tersendiri. Kondisi tersebut terkait dengan teori
manajemen pendidikan yang sesungguhnya juga berkaitan dengan
terbentuknya sekolah miskin. Misalnya teori
sistem dalam manajemen pendidikan menjelaskan bahwa mutu pendidikan
ditentukan oleh berbagai komponen, yakni konteks, input, proses, out put dan feed back.
Komponen-komponen tersebut secara sinergi menentukan mutu pendidikan
(Bush and Bell, 2002: 16-17). Di lain pihak teori nilai ekonomi
pendidikan menjelaskan bahwa nilai ekonomi yang berfungsi sebagai
administrasi, produksi psikologis, dan produksi ekonomi turut andil
dalam menentukan mutu pendidikan (Alan Thomas dalam Zainuddin, 2008:
77). Demikian pula teori kepemimpinan juga menjelaskan bahwa manajer
pendidikan menentukan efektivitas dan mutu pendidikan (Bolman and Deal
dalam Bush and Bell, 2002: 29). Beberapa nukilan teori tersebut
memberikan isyarat bahwa sekolah miskin berkaitan dengan mutu sekolah.
Terjadinya sekolah miskin diduga amat berkaitan dengan sistem
pendidikan, nilai ekonomi pendidikan, dan manajer pendidikan.
Meski
terdapat upaya sekolah untuk mengatasi kekurangstandaran, namun hal itu
kurang berarti jika tanpa dukungan sumber daya yang memadai. Oleh
karena itu model manajemen sekolah yang efektif diterapkan disini yaitu
manajemen sekolah berbasis solusi. Model ini merupakan
proses merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, monitoring dan
evaluasi penyelenggaraan sekolah yang didasarkan kepada upaya mengatasi
permasalahan yang dihadapi sekolah (ketidak terpenuhan SPM). Tujuan
model ini yaitu untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi (memenuhi
SPM) sekolah. Manfaatnya yaitu: (1) SPM sekolah dapat terpenuhi, (2)
sekolah memiliki potensi untuk meningkatkan mutu pendidikan, dan (3)
sekolah mampu bersaing bersaing. Model yang mengacu kepada keunikan
sekolah memiliki fisibilitas dalam penerapan dan memungkinkan efektif
untuk mengatasi masalah (Zainudin, 2008: 76).
D. SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Sekolah
miskin terdiri atas tiga pola, yakni: (1) kurang standar, (2) kurang
standar sekali, dan (3) sangat kurang standar sekali. Ketiga pola
tersebut mengacu kepada keterpenuhan minimal 90% dari ketentuan layanan
minimal pada komponen kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan
prasarana, organisasi, pembiayaan, manajemen, dan peran serta masyarakat
terhadap sekolah. Pola pertama, sekolah miskin kurang standar merupakan
ketidakmampuan sekolah memenuhi standar berkisar antara 70-89%. Pola
kedua, sekolah miskin kurang standar sekali yang hanya mampu memenuhi
standar antara 40-69%. Pola ketiga, sekolah miskin sangat kurang standar
sekali yang hanya mampu memenuhi kurang dari 40%.
Manajemen
sekolah miskin memiliki keunikan tersendiri. Konsep manajemen sekolah
kurang dipahami secara optimal. Kepemiminan dioperasionalkan dalam
bentuk hadir di sekolah, memiliki wewenang instruktif terhadap bawahan,
memiliki wewenang menegur, mengevaluasi, memarahi, dan memberi sanksi
bawahan. Komunikasi dengan bawahan kurang harmonis dan tetap menjaga
jarak “saya kepala sekolah dan kamu bawahan saya”, tidak digalang
partisipasi guru/staf. Pengambilan keputusan dilakukan secara sendiri
agar cepat dan memiliki risiko tersendiri pula. Prinsip-prinsip
manajemen seperti demokratis, partisipatif, keterbukaan, efisien dan
efektif, produktivitas, memenuhi asas hukum; hampir kurang diketahui
oleh kepala sekolah.
Faktor
penyebab terjadinya sekolah miskin amat kompleks. Umumnya sekolah
miskin ditentukan oleh kekurangan: (1) konteks sekolah, (2) input
sekolah, (3) kepedulian pemerintah, (4) kepemimpinan sekolah, (5)
partisipasi guru, (6) partisipasi masyarakat, dan (7) kegiatan
pembelajaran.
Kepala
sekolah dan guru umumnya telah berupaya untuk memenuhi
kekurangstandaran layanan minimal sekolah. Namun hanya terbatas kepada
layanan eduktif yang rutin. Kondisi ini amat sulit untuk memenuhi
standar layanan minimal suatu sekolah, sementara kepala sekolah dan guru
tersebut tidak menyadari, tidak memiliki pembanding, dan kurang wawasan
dalam penyelenggaraan sekolah yang baik.
Model
yang diharapkan dapat mengatasi sekolah miskin yakni manajemen sekolah
yang mampu mengatasi kekurangstandaran layanan minimal sekolah. Model
manajemen sekolah yang efektif yaitu manajemen sekolah berbasis solusi.
Model ini merupakan proses merencanakan, mengorganisasikan,
melaksanakan, monitoring dan evaluasi penyelenggaraan sekolah yang
didasarkan kepada upaya mengatasi permasalahan yang dihadapi sekolah
(ketidak terpenuhan SPM). Tujuan model ini yaitu untuk mengatasi
permasalahan yang dihadapi (memenuhi SPM) sekolah. Manfaatnya yaitu: (1)
SPM sekolah dapat terpenuhi, (2) sekolah memiliki potensi untuk
meningkatkan mutu pendidikan, dan (3) sekolah mampu bersaing bersaing.
2. Saran
Sekolah
miskin memiliki keunikan tersendiri. Keunikan tersebut perlu diatasi
sesuai dengan karakteristik sekolah. Namun upaya cerdas untuk
mengatasinya yaitu melalui memenuhi minimal 90% dari ketentuan layanan
minimal pada komponen kurikulum, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan
prasarana, organisasi, pembiayaan, manajemen, dan peran serta masyarakat
terhadap sekolah. Selain hal tersebut pengetahuan kepala sekolah dan
guru tentang manajemen sekolah dan kelas yang standar hendaknya dikuasai
sehingga mampu mengoptimalisasikan dalam penerapan di sekolah.
Faktor
penyebab terjadinya sekolah miskin yang terdiri atas kekurangdukungan
(1) konteks sekolah, (2) input sekolah, (3) kepedulian pemerintah, (4)
kepemimpinan sekolah, (5) partisipasi guru, (6) partisipasi masyarakat,
dan (7) kegiatan pembelajaran; perlu diatasi. Disarankan kepada kepala
sekolah untuk menerapkan model manajemen sekolah berbasis solusi yang
sesuai dengan karakteristik sekolah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Aprianti, Yenti. 2008. Pendidikan Sekolah Miskin, Gratis Segala-galanya. http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0708/13/Jabar/25207.htm
BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). 2007a. Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Jakarta
BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan). 2007c. Standar Sarana dan Prasarana Untuk SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Jakarta
Bush, Tony and Bell, Les. 2002. The Principles and Practice of Educational Management. London: Paul Chapman Publishing
Caldwell, Brian J. 2008. Principles and Practices in Resource Allocation to Schools under Conditions of Radical Decentralization. http://nces.ed.gov/surveys/databased/issues2.asp
Gramage, David T. 2008. Three Decades of Implementation of School-Based Management in the Australian Capital Territory and Victoria in Australia. http://nces.ed.gov/surveys/databased/Ed34652312
Marshall, Catherine and Rossman, Gretchen. 2005. Desgning Qualitative Research. London: Sage Publication
Miles, MS and Huberman, AM. 2007. Qualitative Data Analysis: A Sourcebook of New Method. http://www.ed.gov/databased/qualidata.Ed54673534
Rahmi, Ratu Ya. 2008. Kondisi Keterpenuhan Standar Penyelenggaraan TK dan Upaya untuk Memenuhinya. Bengkulu: Tesis S2 Prodi MMP Unib
Saiful. 2008. Kondisi Sarana dan Prasarana di SMA Kabupaten Bengkulu Utara. Bengkulu: Tesis S2 Prodi MMP Unib
Sasongko, Rambat Nur. 2008. Manajemen Pendidikan Pada Sekolah Unggul (Studi Deskriptif Kualitatif pada SMP Unggul di Kota Bengkulu). Bengkulu: Hasil Penelitian yang Tidak Diterbitkan pada Prodi MMP Unib
Sujana, Nana dan Ibrahim. 2007. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Susanti, Erfi. 2007. Standar Pendidikan dan Tenaga Kependidikan di SD Provinsi Bengkulu. Bengkulu: Hasil Penelitian pada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan Provinsi Bengkulu
Zainuddin. 2008. Reformasi Pendidikan: Kritik Kurikulum dan Manajemen Berbasis Sekolah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
[*]
Penelitian dibiayai oleh Dana Penelitian Hibah Strategis Nasional
Ditjen Dikti Depdiknas Berdasarkan SK Rektor No. 1760.a/H30/PL/2009
tanggal 11 Februari 2009.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar